Mengenali nilai sosial islam Dalam Membangun “Peradaban Umat”


Penulis ; La Ode Aswan, S. Pd
– Sekjend. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Muna- Muna Barat.
– Ketua Umum Kesatuan Pemuda Pelajar Muslim Intelektual (KP2MI) Muna.

Manusia adalah makhluk sosial secara naluriah. Karena secara kodrati manusia itu pada hakikatnya tidak lepas dari fitrahnya, sebagai makhluk Al-Qudrah Al-Juz’iyah Al-Mahdudah atau insan yang mempunyai kemampuan sektoral dan terbatas pada jangkauan bidang tertentu saja. Ia membutuhkan pertolongan dari manusia lainnya, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam keseharian.

Walau dengan kemajemukan adat budaya Indonesia yang menjadi fanatisme masing-masing pemuja budaya dan penganutnya, semuanya berkembang dan berjalan dengan baik juga harmonis. ketika ada upaya untuk saling mewujudkan sikap pengertian antara satu budaya dengan budaya lainnya, ketika masyarakat yang berasal dari budaya yang lain berada di lingkup masyarakat budaya yang berbeda pula. maka kata kuncinya agar jalinan persaudaraan tetap terjaga adalah “dimana bumi dipijak maka disitu langit dijunjung” “melakukan adaptasi budaya dengan sikon dimana ia berada”.

Mungkin hal inilah, yang membuat masyarakat Indonesia mempunyai tolerensi tinggi terhadap sesamanya, Indonesia juga tidak mungkin bisa dipimpin oleh orang yang tidak berasal dari nusantara ini.Hanya orang pribumilah yang dapat memimpin Indonesia. Karena kalau tidak, maka pemimpin yang dilahirkan itu, tidak bisa menyatukan dari berbagai latar belakang fanatisme yang berbeda. secara otomatis, pemimpinnya adalah orang yang mengalami dan menyaksikannya dan terlibat didalamnya. sehingga dapat bijak memimpin negerinya sendiri. Karena pemimpin yang kita harapkan, adalah pemimpin yang bisa menyatukan semua perbedaan dalam satu tujuan, itu tertuang dalam nilai-nilai pancasila kita. Budaya juga merupakan hasil karya, cita, rasa, dan karsa yang dikaji oleh akal manusia terhadap lingkungan sekitarnya dimana ia berada. sehingga menghasilkan adat-istiadat, yang kemudian menghasilkan norma dan nilai dan diadopsi sebagai budaya yang berbeda. Sebagai ciri khas identitas masyarakat tertentu, sesuai dengan lingkungan alam dimana ia lahir dan menetap.

Lingkungan sosial adalah alam kesekian dari beberapa fenomena perkembangan belajar yang dilalui oleh pembelajar. setelah sang anak berada dialam ibunya dan keluarganya, sang anak mulai beranjak untuk mengenal lingkungan luarnya, adalah lingkungan sosial sebagai bahan pembelajaran yang selanjutnya untuk mencoba sesuatu hal yang baru. Proses itu kemudian membentuk kepribadiannya sendiri. Terwarnai oleh lingkungan adalah konsekuensi dari impact hasil pengalaman yang ia dapatkan, dari berbagai macam kepribadian rekan- rekannya bergaul, yang berasal dari berbagai macam tradisi, yang itu lahir sebagai pembawaan atau pewarisan sifat gen dari madrasah pertamanya yaitu keluarga mereka masing-masing.

Pada dekade akhir-akhir ini, berbagai cara dan metode kajian pendidikan sosial yang diterapkan, baik skala nasional sampai pada jenjang internasional untuk memperbaiki manusia yang hidup pada zaman saiber ini, dan kemudian dipakai sebahagian orang-orang islam sebagai bagian dari referensi panduan hidup yang kenyataannya tidak dapat memberikaan hasil yang diharapkan. berbagai macam upaya untuk mengendalikan jiwa generasi yang semakin dikhawatirkan ini. Pada kenyataannya usaha itu, semakin membuat jurang pemisah yang terus melebar antara keinginan memperbaiki dengan kondisi yang semakin memburuk. Upaya ini adalah sebagai tanda bahwa manusia sudah mulai merasakan ketidak nyamanan, pencaharian itu sebagai bukti bahwa manusia sudah berada hampir pada titik nadir kegagalan pada proses, lebih-lebih hasil akhirnya. Try and Eror adalah merupakan fenomena yang terus terjadi, dengan mengambing hitamkan beberapa manusia, sebagai objek kajian laboratorium yang akan memunculkan reaksi dengan perlakuan- perlakuan yang diberikan, berhasil atau gagalkah observasi itu. teori- teori yang lahir dari pemikiran produk manusia yang asal muasalnya tidak menjelaskan identitas bahwa ia adalah seorang yang berkepribadian baik, apakah ia adalah orang yang pantas untuk dicontoh atau tidak.

Penulis tidak mengatakan bahwa mengambil teori dari selain orang-orang islam adalah sesuatu yang tidak dibolehkan. Karena Allah telah mengabadikan perkataan seorang kafir, ratu Bilqis di zaman nabi Ibrahim a.s, ketika berada dalam forum pembesar- pembesar kerajaannya, hal ini adalah sebagai isyarat bahwa kita dibolehkan untuk mengambil reverensi dari selain orang islam itu sendiri dengan syarat teori itu tidak bertentangan dengan Qur’an dan Al- Hadist Nabi Muhammad S.A.W.

Bertolak dari semua muqoddimah diatas, maka sesungguhnya islam telah mempunyai jawabannya dengan berbagai macam kajiannnya; Al-Qur’an, Sunnah, Qiyas, dan ijma’ para ulama adalah merupakan reverensi terbaik yang nilainnya tidak akan pernah terkubur oleh zaman. Tidak seperti teori-teori manusia yang kaku, terkadang hanya mempunyai ketahanan sementara dari sisi maknanya karena tidak mempunyai makna yang fleksibilitas dan menjangkau semua zaman setelahnya.

Sejarah dalam Al- Qur’anul karim, mempunyai kedudukan yang mendominasi yaitu sepertiga dari isi kandungannya adalah kajian sejarah itu sendiri. Peristiwa-peristiwanya yang syarat akan makna, bukan hanya kumpulan cerita dongeng, fiksi, legenda, yang tak luput dari pembohongan publik. Padahal Al-Qur’an telah menjelaskan dirinya sendiri melalui firman Allah SWT, Maa Nutsabitu Bihi Fuaadak, Al- Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat. tetapi ia adalah sebagai kebenaran, manfaat, dan peringatan untuk orang-orang mukmin secara khusus. dan untuk semua manusia secara umumnya.

Dalam pentas sejarah dengan berbagai pengalamannya, telah memberi subangsih termahal untuk pembangunan negeri yang berperadaban itu. sebagaimana Rosulullah telah berhasil mencetak pilar-pilar pengokoh yang menyokong bangunan megah islam itu sendiri, ditangan Al-Khulafaurrosyidin ketika islam ini telah pernah mencapai titik kejayannya. Tetapi hal itu tidak berakhir hanya dengan sebatas kenangan-kenangan manis umat islam saja, sejarah kemegahannya akan terulang kembali, ketika umat islam itu sendiri tidak menutup mata dengan makna sejarahnya. Hal yang sama akan terulangi dalam pentas dunia, ketika zaman sudah mengakhiri dirinya maka umat islam akan mencapai kejayaannya kembali. Sebagaimana perkataan Rosul; kemudian datang masa khilafah di atas manhaj kenabian. Pertanyaannya adalah apakah kita sudah mulai mengambil bagian untuk hal itu?, sementara hal itu pasti terjadi dan terus berproses menuju kejayaan yang dijanjikan, Tetapi meski kita tidak bersiap menyambut itu, Allah selalu mempunyai stok generasi terbaik untuk mewujudkannya.

Kehidupan sosial juga tidak lari dari pengalaman sejarah manusia terbaik, dan generasi terbaik yaitu para sahabat, kemudian tabi’in, tabi’ut-tabi’in. Penulis ingin menggali dua peristiwa sosial, dan berharap ini bisa bermanfaat untuk pribadi penulis dan para pembaca sebagai bukti kongkrit bahwa sejarah itu bukan hanya kumpulan khayalan yang tidak mempunyai arti. Penulis akan mencoba menggagas kelahiran cahaya, dua kisah dari manusia pilihan Allah yaitu Nabi Ismail a.s. dan Rosulullah SAW. Insya Allah.

“Setiap bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Maka ibu-bapaknyalah yang menjadikannya seorang yahudi, nasrani, atau majusi. (HR Bukhari, Muslim, Abu dawud, At-Tirmidzi, dan Ahmad). “Menurut kadar pengaruh pertama kali dari salah satu diantara kedua sifat tersebut, jiwa menjauh dari satu sifat laiinnya dan sukar untuk memperolehnya. Apabila kebiasaan berbuat kebajikan masuk pertama kali ke dalam jiwa orang yang baik, dan jiwanya terbiasa dengan kebajikan, maka orang terebut akan menjauhkan dirinya dari perbuatan buruk dan sulit menemukan jalan kesana. Demikian pula ihwalnya dengan orang jahat. (Ibnu Khakdun dalam muqoddimahnya). Teori ini akan menjiwai disepanjang dua kisah yang akan penulis paparkan.

Kisah pertama; Berangkat dari usia kelahirah Rosulullah yang memberikan banyak pelajaran yang mahal, ketika Rosulullah lahir ke dunia oleh ibundanya yaitu Siti Aminah, sebagaimana kebiasaan ibu-ibu makkah ketika melahirkan seorang anak, kemudian menitipinya kepada ibu-ibu dari bani sa’ad dan dibawa diperkampungan mereka. Kota dan desa adalah sebuah objek tempat yang berbeda dengan segala aktivitasnya. Masyarakat perkotaan, atau masyarakat kota makkah saat itu jika ditilik lebih dalam maka kita akan menemukan fenomena sebagaimana yang terjadi dikehidupan masyarakat perkotaan pada umumya. yaitu banyaknya hiruk-pikuk hegemoni kesenangan duniawi, sebagaimana jiwa mereka yang terbiasa dengan aktifitasnya, seakan-akan itu telah menjadi bagian dari darah daging mereka, sehingga sulit untuk dilepaskan dalam kebiasaan-kebiasaannya. Penyembahan berhala, minuman-minuman keras dan beberapa penyimpangan yang terus dikerjakan. Dengan kondisi yang tidak bersahabat itu, Allah merekayasa untuk mempersiapkan manusia yang terbaik yang kelak akan menjadi pemimpin besar ummat ini. Allah menginginkan bahwa peristiwa dengan segala aktifitasnya itu terjadi secara alamiah kepada Al- Amin ini, agar manusia dapat mengambil pelajaran dari manusia terbaik ini.

Sedangkan masyarakat desa adalah mereka yang jiwanya terbiasa melakoni kebajikan-kebajikan, yang masih bebas dari iklim yang merupakan perebutan dunia dan kesenangannya. mereka terbiasa dengan hidup mandiri, terbiasa dengan tantangan-tantangan yang ada, hingga peristiwa yang alamiah itu mampu membentuk karakter mereka menjadi orang yang kuat jiwa dan fisiknya dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Seperti perkampungan bani sa’ad adalah masyarakat tempat penyusuan dan pengasuhan Rosulullah selama kurang lebih lima tahun lamanya, ketika lahir beliau sudah dibawah oleh halimatusho’diyah dengan menempuh jarak puluhan kilo dari kota, ini isyarat yang luar biasa. Bukan hanya itu, Rosulullah banyak melalui fase yang itu membentuk dan menguatkan jiwa manusia pilihan ini dikemudian hari. Menghadapi kenyataan wafatnya ayah (Abdullah), hal ini dialaminya ketika beliau belum muncul di dunia sehingga lahir dalam kenyataan yatim, mengahadapi wafatnya ibundanya tercinta, mengahadapi kematian paman dan kakeknya, adalah sebuah fenomena alami yang kemudian itu menjadi pukulan pertama sekaligus desain kehidupan yang sangat keras untuk kekasih Allah ini. Mungkin dengan inilah pemimpin para nabi ini, sekaligus khatamul ambiya ini, dapat sukses mengahadapi goncangan-goncangan dakwah berikutnya karena jiwa itu sudah kuat terbentuk dan bijak untuk kuat menghadapinya. Inilah usia dalam masa-masa persiapan selama 40 tahun lamanya sebagai deklarasi tahun nubuwwah untuk Rosulullah kepada semua manusia, sebagai pernyataan luar biasa yang mengguncangkan peradaban manusia. Bani sa’diyah juga adalah masyarakat yang masih fasih bahasa arabnya hingga Rosulullah terlahir dengan bahasa arabnya yang fasih. Dua fenomena rekayasa sosial itulah yang menjadikan beliau sebagai manusia yang luar biasa dikemudian hari. Penulis hanya membatasi dua pengalaman itu sebagai pernyataan yang mewakili dari kesekian peristiwa rekayasa sosial yang lain dalam peristiwa yang beliau alami.

Kisah kedua; Q.S. Ibrohim ayat 37 Allah mengabadikan doa nabi ibrahim a.s. dalam firmannya: “Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan salat, maka jadikanlah hati sebahagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. Ibrahim a.s. bapak para nabi, padanya lahir dua keturunan yaitu Ishaq a.s. dan Ismail a.s. yang kemudian dari kedua jalur itulah melahirkan para nabi hingga keturunan terakhir untuk nabi dari ismail a.s. adalah Rosulullah S.A.W. Lembah yang tidak ada satupun pohon di sana, tetapi mengapa harus makkah dekat dengan rumah Allah ka’bah. Meski, jika kata orang “tidak ada sumber kehidupan dan mengapa kita harus menyiksa diri untuk ketempat seperti itu atau kalimat yang sejenis dengannya.” Mengapa tidak kenegeri lain yang lebih subur untuk memenuhi kebutuhan hidupnya?

Sekali lagi ini adalah peristiwa yang merupakan rekayasa sosial Allah S.W.T, untuk membentuk jiwa Ismail a.s. menjadi pemimpin kaumnya, dengan sederet peristiwa yang luar biasa yang dialaminya. sebagai nabi yang berbakti kepada Allah, sebagai anak yang berbakti kepada orang tuanya, orang yang merelakan dirinya untuk disembelih oleh bapaknya sendiri atas perintah Allah S.W.T, sebagai anak yang ketika sudah menikah atas perintah ayahnya Ibrohim a.s. beliau rela menceraikan istrinya. Dua kisah yang syarat akan hikmah itulah, yang merupakan rujukan bahwa dalam membentuk jiwa generasi gemilang dimasa depan, membutuhkan sebuah rekayasa sosial religius yang serius dari para orang tua..

Lingkungan sosial yang kondusif, rumah-rumah yang dekat dengan masjid, dekat dengan tetangga yang baik, ruamah tangga yang menjauhi hal-hal negatif (baik dalam perkataan dan tingkah laku), dalam menjalani rumah tangganya, yang akan menjadi bahan tiruan baik untuk anak-anaknya. Dari pengasuhan keluarga itulah kelak akan lahir seorang generasi pemimpin yang didambakan “Tsumma takuunu Khilafah ‘Ala minhajunnubuwwah”. InsyaAllah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *