Pilkada Serentak Dan Tantangan Bagi Penyelenggara

Penulis : Andriansyah Siregar
(Pimpinan Redaksi Harian Surya Pos “Suara Rakyat Konawe” 2009-2015)
(Pimpinan Redaksi Koran Sultra 2016-2017)


Unaaha, – Pemilihan Kepala Daerah Serentak adalah produk Demokrasi yang lahir pada awal tahun 2015 silam dalam sejarah panjang Bangsa ini, Pesta Demokrasi ini tentunya melahirkan suatu refleksi yang tak tanggung tanggung.

Mulai dari kesiapan Komisi Pemilihan Umum yang dituntut agar bekerja maksimal, efektif dan seefisien mungkin untuk melaksanakan tahapan Pemilihan Kepala Daerah, mulai dari tingkat KPU Pusat, KPU Provinsi hingga ke KPU Daerah Kabupaten/Kota serta Peran dan fungsi Badan Pengawas Pemilihan Umum Pusat (Bawaslu) hingga Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) daerah sebagai “Wasit” yang mengawasi jalannya pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dituntut bekerja se- proffesional mungkin agar hasil dari pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah menghasilkan produk yang berkualitas dan melahirkan Pemimpin yang terbaik bagi kemaslahatan Rakyat didaerah tersebut.

Tahun 2018 mendatang, Provinsi Sulawesi Tenggara akan kembali menggelar Pemilihan Kepala Daerah secara serentak di tiga Kabupaten dan Pemilihan Gubernur pada tanggal 27 Juni 2018, meski begitu fenomena – fenomena yang kini bergejolak ditengah – tengah masyarakat mulai terasa “hangatnya”.
Lantas, bagaimana dengan kesiapan Pihak Penyelenggara Pemilihan Umum mulai dari tingkat Provinsi hingga Kabupaten/Kota yang ada didaerah ini menghadapi pesta demokrasi lima tahunan ini?
Kerja Keras KPU Sebagai Penyelenggara “Dipertaruhkan”

Berkaca dari pengalaman Pemilihan Kepala Daerah serentak pada gelombang pertama tahun 2016 dan gelombang kedua tahun 2017 ini, Sejumlah Kabupaten yang usai melaksanakan pemilihan Kepala Daerah bahkan bergulir di Meja Mahkamah Konstitusi, dan yang menjadi catatan sejarah Pesta Demokrasi di Negara ini adalah Kabupaten Muna yang hingga sampai tiga kali dilakukan Pemilihan Suara Ulang (PSU) sesuai dengan perintah Mahkamah Konstitusi.

Realita dan faktanya, “Catatan Merah” bagi Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara seusai pelaksanaan Pemilukada kerap menjadi konsumsi publik masyarakat awam, Dalam berbagai situasi di Pemilukada Kredibilitas Komisi Pemilihan Umum Daerah dipertaruhkan. Hal yang masyarakat inginkan hanya satu yakni proffesionalitas dan Netralitas KPUD sebagai Penyelenggara yang bebas dari Desakan – desakan kepentingan dari para “elit” Politik dapat terwujudkan.

Tak sedikit Anggota KPUD yang dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) Karena dituding memihak kepada salah satu calon, Para teradu yang telah disidangkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tersebut sebagian besar yang melakukan pelanggaran asas kemandirian sebagai penyelenggara. Mereka dinyatakan terbukti melakukan tindakan tidak netral dan berpihak kepada calon/kandidat dan partai politik tertentu dalam pilkada ataupun pemilu legislatif dan eksekutif. Para penyelenggara masih memiliki indikasi yang kuat dengan sikap tidak netral dan cenderung berpihak kepada para kontestan pemilu. berangkat dari hal tersebutlah penulis berharap agar penyelenggara semaksimal mungkin berpegang teguh pada Peraturan DKKPP No. 2 Tahun 2017 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum agar kejadian – kejadian tersebut tak terulang.

Penulis ingin sedikit membahas soal Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Konawe, menurut data yang diperoleh memiliki cakupan luasan wilayah yang cukup luas dengan kondisi peta wilayah 2017 ini terdapat 23 Kecamatan dan 163.365 DPT (berdasarkan data Pileg 2014 lalu) serta potensi kerawanan dalam Pemilihan Kepala Daerah yang cukup besar yang membutuhkan kesiapan tekhnis dari KPUD sebagai Lembaga Penyelenggara Pemilu, Disisi lain KPU/KPUD juga harus menyiapkan berbagai perangkat Pilkada yang kompleks, mulai dari peraturan teknis hingga penyiapan logistik yang meliputi seluruh tahapan Pilkada, yang intinya KPUD Konawe harus bekerja ekstra demi mewujudkan Pilkada Konawe yang berkualitas.

Jika dilaksanakan dengan maksimal Sebagaimana termaktub di dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas Langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dan dalam menyelenggarakan pemilu, penyelenggara pemilu harus melaksanakan Pemilu berdasarkan pada asas sebagaimana dimaksud, dan penyelenggaraannya harus memenuhi prinsip: a. mandiri; b. jujur; c. adil; d. berkepastian hukum; e. tertib; f. terbuka; g. proporsional; h. profesional; i. akuntabel; j. efektif; dan k. efisien. Penulis yakin, Sengketa Pemilukada dapat terminimalisir.

Peran Serta Masyarakat Wujudkan Kualitas Demokrasi
Sebagaimana diketahui saat ini Badan Pengawas Pemilihan Umum ( Bawaslu) RI meluncurkan slogan (tagline) baru yaitu ‘Bersama Rakyat Awasi Pemilu, Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu’.
Filosofi dari Tagline yang baru diluncurkan oleh Badan Pengawas Pemilu ini mengandung makna yang cukup mendalam, diantaranya sebagai mana yang dikutip dari pernyataan Ketua Bawaslu Abhan mengatakan, slogan baru itu mengandung filosofi bahwa “pemilu adalah milik seluruh rakyat Indonesia”.

Peran Masyarakat dalam pelaksaan pesta Demokrasi ini sangat dibutuhkan demi terciptanya Pemilihan Umum yang adil, jujur dan berkualitas.

Menurut Arbi Sanit (1997 : 7), partisipasi politik adalah peran serta masyarakat secara kolektif di dalam proses penentuan pemimpin, pembuatan kebijaksanaan publik, dan pengawasan proses pemerintahan. Pemilu menjadi instrumen sangat penting dalam mendorong keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan tentang siapa yang berhak menjalankan
organisasi yaitu negara Indonesia, baik di dalam lembaga legislative ataupun lembaga eksekutif
Penyelenggara Pemilihan Umum Tanggung Jawab Bersama

Secara teknis Pemilukada serentak ini menjadi penanda majunya demokrasi di Indonesia, namun dari segi substansi kualitas demokrasi masih perlu dipertanyakan. Jika Pemilukada dapat berlangsung demokratis sesuai dengan implementasi dari UU No 7 Tahun 2017 sebagai buah kerja dari penyelenggaranya yang independen dan profesional, hal ini tentunya akan menyumbang kontribusi terhadap performa demokrasi provinsi, kabupaten atau kota yang bersangkutan. Akan tetapi sebaliknya, jika pelaksanaan Pilkada penuh dengan aroma kecurangan, sengketa, dan menyemai bibit-bibit konflik sosial, maka kualitas demokrasinya pun akan menjadi tanda – tanya besar, tak menutup kemungkinan akan semakin membuat masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap lembaga penyelenggara.

Pelaksaan Pemilukada secara serentak bisa menjadi pintu masuk membangun demokrasi yang berkualitas. Tak dapat dipungkiri hal ini merupakan pekerjaan berat dan kompleks. Bukan hanya peran KPU/KPUD sebagai penyelenggara dan Panitia Pengawas Pemilu yang bertanggungjawab untuk mewujudkan demokrasi yang berkualitas. Akan tetapi peran dari para kandidat Calon Kepala Daerah serta partai politik pengusung, dan juga masyarakat juga memiliki andil guna mewujudkan Pilkada yang demokratis, jujur dan adil sehingga nantinya mampu menghasilkan figure figur kepala daerah yang bersih dan memiliki kecakapan untuk memimpin serta membangun daerahnya kearah yang lebih baik ke depannnya.

Sekali lagi, Pilkada hanyalah sekedar pintu masuk membangun demokrasi. Jika Pilkada berjalan sukses, maka problem demokrasi prosedural terjawab sudah. Tinggal menunggu realisasi figur-figur kepala daerah yang terpilih yang mampu bekerja mewujudkan kesejahteraan dan keadilan masyarakat –sebagai mimpi demokrasi yang substansial.

Akhir kata penulis ini mengucapkan selamat bekerja wahai para Penyelenggara Pemilu, kami percaya dan yakin bahwa indepensensi kalian tak perlu diragukan, kepada kalianlah kami masyarakat berharap Penyelenggaraan Pemilihan Umum berlangsung dengan Proffesional dan bermartabat, demi menghasilkan Pemimpin yang berkualitas yang dapat membawa kesejahteraan bagi Masyarakat. Wassalam. (****)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *