Opini  

Maskot STQH, Indah sebagai Projek Namun mangkrak sebagai Makna

Oleh: Muh. Nato Alhaq

(Ketua Program Studi  Desain Komunikasi Visual UM Kendari, Pemerhati Semiotika)

Di atas kertas, maskot STQH seolah indah: berwarna, berwajah ramah, dan lahir dari proses yang rapi di bawah bendera panitia dan event organizer katanya sarat pengalaman. Namun di balik semua itu, ada yang hilang—suara publik yang mestinya ikut memberi makna. Maskot ini lahir bukan dari ruang tafsir bersama, melainkan dari meja proyek yang menafsirkan syiar sebagai pekerjaan kontraktual. Maka tak mengherankan jika yang dihasilkan adalah simbol yang seolah cantik bentuknya, nyatanya gagal  maknanya.

Dalam semiotika, perubahan kecil bisa berakibat besar. Hilangnya dua tanduk anoa pada maskot STQH di Kendari bukan sekadar kekeliruan desain, melainkan kegagalan membaca tanda. Ikon kebanggaan daerah itu bergeser menjadi figur yang oleh sebagian masyarakat dibaca sebagai hewan najis, menodai niat suci di balik penyelenggaraan acara keagamaan. Satu tanda hilang, dan makna pun berpindah — dari lambang kesucian menjadi simbol kesalahpahaman.

Banyak yang menyebut anoa (Bubalus sp.) sebagai kerbau kecil. Ada dua spesies yang teridentifikasi, yakni anoa pegunungan (Bubalus quarlesi) dan anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis). Meski mirip kerbau, satwa bertanduk ini memiliki karakter liar yang sulit dijinakkan. Sejak 1986, International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkannya ke dalam daftar satwa terancam punah. Namun bagi masyarakat Sulawesi Tenggara, anoa bukan sekadar fauna endemik, melainkan simbol identitas dan kebanggaan daerah — sebagaimana tergambar dalam logo Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, yang menampilkan kepala anoa bertanduk ganda sebagai lambang keuletan, keteguhan, dan keberanian.(CNN Indonesia, 2020)

Secara zoologis, anoa memiliki morfologi yang sangat khas: tubuh kekar, leher tebal, dan yang paling penting, sepasang tanduk pendek yang tumbuh sejajar dan condong ke belakang.

Ciri inilah yang menjadi indeks biologis utama, pembeda anatomi yang menegaskan kehadirannya sebagai Bubalus sejati di antara kerabatnya yang lebih besar, seperti kerbau atau banteng. Dalam kerangka semiotika Charles S. Peirce(Hoed, 2014), tanduk tersebut berfungsi sebagai index of identity — tanda yang secara langsung menautkan gambar (ikon) dengan objek nyata (anoa).

Selama indeks ini hadir, publik tidak ragu mengenali identitasnya.

Karena itu, semua ilustrasi yang menggunakan Anoa ini misal pada  baik pada maskot Hari Pers Nasional (HPN) 2022 di Sultra maupun logo resmi pemerintah provinsi, bentuk tanduk ini selalu dipertahankan, menegaskan hubungan kuat antara simbol dan makna.

Sebaliknya, pada maskot STQH, terutama versi “Ani”, indeks visual ini sepenuhnya dihapus. Tanduk yang menjadi jembatan makna antara ikon dan realitas diganti hiasan kepala menyerupai mahkota. Dalam terminologi Peirce, tindakan ini memutus hubungan antara representamen dan objek — membuat ikon kehilangan “penunjuk hidup”-nya. Maka, yang tersisa hanyalah figur hewan antropomorfik tanpa kejelasan spesies. Akibatnya, publik tidak lagi membaca figur itu sebagai anoa, melainkan sebagai hewan lain yang justru membawa konotasi negatif dalam konteks religius dan budaya.

Perubahan kecil pada indeks tanduk ternyata berdampak besar terhadap persepsi: dari lambang kebanggaan menjadi sumber ketersinggungan.

Kehilangan tanduk pada maskot bukan hanya kesalahan estetika, tapi kegagalan semiotik, sebab simbol publik seharusnya bekerja melalui kejelasan hubungan tanda dan nilai. Dalam konteks daerah seperti Sulawesi Tenggara, di mana anoa menempati posisi identitas kolektif, penghilangan ciri khas biologisnya sama saja dengan menghapus penanda eksistensi budaya. Dan di ruang religius seperti STQH, di mana simbol memiliki beban moral dan spiritual, kelalaian sekecil ini dapat mengubah pesan dakwah menjadi sumber salah tafsir.

Mari analisis lebih dalam

Polemik maskot Seleksi Tilawatil Qur’an dan Hadis (STQH) Nasional XXVIII di Kendari memberi kita pelajaran penting: bahwa satu detail visual, sekecil apa pun, dapat menimbulkan luka makna yang besar.  Masalahnya tampak sederhana — dua tanduk kecil di kepala maskot yang seharusnya menjadi ciri khas anoa, satwa endemik Sulawesi Tenggara, hilang. Tapi dalam dunia tanda, kehilangan kecil bisa mengguncang sistem makna yang besar.

Charles Sanders Peirce, ahli yang meletakkan dasar ilmu semiotika, menjelaskan bahwa setiap tanda (sign) memiliki tiga elemen yang saling berhubungan: ikon, indeks, dan simbol. Ikonadalah kemiripan bentuk; simbol lahir dari kesepakatan budaya; dan indeks adalah penunjuk langsung terhadap realitas, tanda yang memiliki “jejak” dari objek aslinya.

Dalam konteks maskot STQH, ‘tanduk anoa’ berfungsi sebagai ‘indeks utama’ — ia menjadi pengait antara gambar dan realitas, antara ikon dan identitas. Ketika tanduk itu dihapus, hubungan indeksial tersebut ikut terputus. Sejak itu, ikon kehilangan arah. Ia tak lagi menunjuk pada anoa, tapi melayang tanpa makna pasti.Publik yang melihatnya, tanpa petunjuk indeksial yang jelas, pun mencari padanan baru yang lebih akrab di ingatan mereka. Bentuk wajah, moncong, dan ekspresinya mengingatkan pada hewan domestik tertentu yang dalam tradisi Islam memiliki konotasi tidak suci. Dari sinilah publik mulai melakukan re-anchoring, menafsir ulang sosok itu ke arah yang jauh dari makna anoa yang sebenarnya

Dari sinilah pergeseran makna terjadi.

Yang semula dimaksudkan sebagai anoa, hewan khas Sulawesi dan simbol kebanggaan lokal, berubah menjadi hewan yang oleh sebagian umat Islam dianggap najis. Ketika sosok itu memegang kitab, tafsir publik bergerak lebih jauh: gambaran hewan yang dianggap najis membawa kitab suci, bagi sebagian orang, terasa tidak pantas bahkan menyinggung kesucian agama.

Satu kehilangan indeks kecil — tanduk — berakibat pada pergeseran makna yang menyentuh wilayah teologis. Inilah bagaimana kesalahan semiotik dapat berujung pada konsekuensi moral dan religius.

Namun luka itu tak berhenti di ranah agama.

Maskot perempuan STQH justru memperdalam disonansi makna yang sudah ada. Sosoknya menampilkan wajah berkulit cerah yang jauh dari warna khas Bubalus sp., tanpa tanduk, berbalut jilbab dan busana bermotif Tolaki.

Paduan elemen ini menciptakan ketegangan simbolik: di satu sisi berupaya menampilkan nilai religius, tetapi di sisi lain meminjam atribut budaya yang memiliki makna sakral dan terbatas penggunaannya dalam adat Sulawesi Tenggara.

Motif Tolaki tidak hanya sekadar ornamen visual; ia adalah simbol kehormatan yang biasa dikenakan dalam prosesi adat penting seperti pernikahan, pelantikan, atau upacara penghormatan. Ketika motif yang luhur itu dilekatkan pada figur hewan antropomorfik yang kehilangan identitas zoologisnya, sebagian masyarakat Tolaki merasa budayanya tidak ditempatkan secara terhormat.

Yang semula oleh desainernya diniatkan sebagai penghargaan terhadap kearifan lokal justru terbaca sebagai bentuk pengaburan makna dan penurunan martabat simbol budaya. Apa yang tadinya hendak dirayakan sebagai identitas lokal justru tampil sebagai bentuk yang mengaburkan martabat simbol daerah. Di sini kita melihat dua lapisan luka sekaligus: luka religius, karena ikon bergeser ke makna najis, dan luka budaya karena simbol etnik yang sakral kehilangan konteksnya akibat disematkan kepada hewan yang bermasalah konotasinya.

Sebuah kesalahan semiotik yang sederhana, ternyata bisa menimbulkan disonansi budaya dan spiritual yang kompleks.Namun mari sama kita yakini, kesalahan ini bukan lahir dari niat jahat. Ini jauh dari itu, ini terjadi hanya karena mekanisme komunikasi publik yang tidak tertib.

Biasanya maskot sekaligus ivent STQH, melewati proses panjang: sayembara desain, konsultasi publik, hingga kurasi simbolik oleh akademisi, seniman, dan tokoh agama. Proses seperti itu penting karena memastikan simbol yang lahir bisa terbaca oleh semua kelompok dengan nilai yang sejalan. Karena prinsipnya makna lahir dari pembaca/publik bukan dari desainernya.

Sayangnya, dalam kasus ini, mekanisme itu tampak absen.

Maskot muncul begitu saja, tanpa proses verifikasi makna dan uji sensitivitas budaya. Akibatnya, ketika tafsir publik melenceng, penanggung jawab administratif dan pihak penyelenggara tidak siap menjelaskannya. Coba tengok KPU se Sultra dalam perhelatan Pilkada 2024 misalnya, juga menggunakan fauna seperti kerbau, kuda  dan hewan lainnya. Bahkan Tugu persatuan tempat STQH diselenggarakan juga didaulat sebagai maskot penanda Pilwali Kendari 2024. Sejumlah icon ini hadir merepresentasikan hubungan kekayaan alam lokal  dan pesta demokrasi yang harmoni. Semua aman. Tidak ada masalah, karena prosedur dan mekanisme terpenuhi.(Alhaq & Amirudin, 2025)

Dalam situasi seperti ini, tanggung jawab moral berada di dua pihak.

Pertama, Sekretaris Daerah Sulawesi Tenggara selaku Ketua LPTQ, yang memiliki otoritas administratif dan simbolik atas penyelenggaraan STQH.  Kedua, Event Organizer (EO), yang bertanggung jawab terhadap produksi visual dan publikasi maskot.Keduanya tentu tidak bermaksud menistakan agama atau budaya, tetapi keduanya tidak cukup sensitif membaca tanda dan nilai yang mereka wakili.

Langkah cepat pemerintah menarik maskot dari ruang publik patut diapresiasi. Namun langkah itu akan lebih bermakna bila disertai permintaan maaf terbuka. Satu kalimat sederhana sudah cukup:

“Kami mohon maaf jika desain maskot STQH menimbulkan salah tafsir. Tidak ada niat menistakan agama atau budaya....”

Adapun bagi masyarakat yang kecewa, kemarahan itu tentu lahir dari cinta terhadap agama dan budaya. Tapi biarlah peristiwa ini menjadi pelajaran bersama, bukan luka yang diperpanjang. Kesalahan visual sudah cukup ditebus dengan perbaikan dan ketulusan maaf. Kini, saatnya STQH kembali kepada niat sucinya — menebarkan keindahan iman, ilmu, dan persaudaraan.

Pelajarannya adalah...

Ke depan, pengalaman ini semestinya menjadi pelajaran berharga dalam merancang maskot untuk kegiatan keagamaan atau budaya. Sebuah maskot tidak cukup hanya indah dan ramah dilihat, tetapi juga harus jelas secara makna—terutama dalam hal indeks visual, atau tanda-tanda yang menjelaskan ia sebenarnya mewakili apa. Dalam konteks hewan seperti anoa, bentuk fisik seperti tanduk, warna, dan proporsi tubuh adalah penanda yang wajib dijaga agar tidak menimbulkan ambiguitas antara sosok hewan dan figur manusia. Ambiguitas ini bukan sekadar soal rupa, melainkan soal makna: ketika bentuk menjadi kabur, tafsir publik pun mudah bergeser ke arah yang tidak diinginkan.

Selain itu, penting bagi desainer untuk menjaga agar maskot hewan tidak bersentuhan langsung dengan simbol-simbol suci, seperti memeluk kitab atau melakukan gestur ibadah. Bila pesan religius tetap ingin dihadirkan, penyampaiannya bisa dilakukan secara metaforis dan simbolik—misalnya melalui warna, motif, atau ekspresi moral yang universal. Sama pentingnya, mekanisme lahirnya maskot seharusnya ditempuh dengan cara yang terbuka dan partisipatif: melibatkan akademisi, tokoh agama, budayawan, dan masyarakat dalam proses ide hingga finalisasi desain. Dengandemikian, setiap maskot yang lahir bukan hanya karya seniestetis, tetapi juga refleksi kebijaksanaan, cermin budaya sekaligus penghormatan terhadap nilai-nilai masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *