Oleh: Muh. Nato Alhaq
Kaprodi Desain Komunikasi Visual UMKendari. Pemerhati Semiotika
Sebuah kalimat singkat — “Untung saya orang Raha, bukan orang Muna” — menjadi sumber kegaduhan sosial di Sulawesi Tenggara. Kalimat ini diucapkan oleh seorang pejabat publik dengan latar pendidikan tinggi, di ruang digital yang sepenuhnya terbuka.
Pada permukaannya, kalimat itu tampak seperti gurauan. Namun dalam konteks komunikasi publik, ujaran tersebut menyimpan kerusakan makna yang jauh lebih dalam — menyentuh ranah identitas, kebangsaan, dan etika komunikasi pejabat negara.
Untuk memahami persoalan ini secara sistematis, analisis berikut menggunakan formula komunikasi Lasswell sebagai alat identifikasi masalah komunikasi, kemudian dilanjutkan dengan pendekatan semiotika Peirce untuk membongkar makna tanda “Raha” dan “Muna” dalam konteks simbolik dan sosial-budaya.
Komunikator: Pejabat Publik dan Etika Berbahasa
Menurut Lasswell, unsur pertama adalah “Who Says” — siapa komunikatornya.
Dalam kasus ini, komunikator adalah Kepala Dinas Kominfo Sulawesi Tenggara, seseorang dengan kapasitas pendidikan tinggi dan jabatan strategis yang menuntut ketepatan, kepekaan, serta kemampuan manajemen pesan di ruang publik.
Masalah utama muncul karena fungsi komunikasi pejabat publik bersifat representatif dan simbolik. Setiap kata yang diucapkan bukan lagi “kata pribadi”, tetapi kata institusional,
yang membawa bobot jabatan dan mencerminkan wajah pemerintah daerah. Dalam konteks ini, pernyataan “Untung saya orang Raha, bukan orang Muna” gagal memenuhi
prinsip dasar komunikasi pejabat publik: Sensitivitas budaya (tidak melukai identitas komunitas lain), dan Pertimbangan efek publik
(memahami resonansi sosial dari setiap pesan). Dengan tingkat pendidikan yang tinggi, seharusnya komunikator memiliki kesadaran pragmatik: bahwa setiap ujaran di ruang digital bersifat performatif — membentuk persepsi, memicu emosi, bahkan menggerakkan tindakan sosial.
Ketika seorang pejabat gagal membaca efek dari ucapannya sendiri, maka masalah komunikasi menjadi masalah etik dan simbolik sekaligus.
2. Pesan: Simbol Administratif versus Identitas Kultural
Unsur kedua Lasswell adalah “Says What” — apa yang dikatakan. Secara linguistik, kalimat
“orang Raha” mengacu pada entitas administratif, yaitu wilayah Kota Raha. Sebaliknya, “orang Muna” merujuk pada identitas kultural dan etnisitas. Ketika dua istilah ini ditempatkan dalam satu struktur perbandingan (“Untung saya orang Raha, bukan orang Muna”), maka muncul ketimpangan simbolik:
Raha diasosiasikan dengan entitas geografis modern, sedangkan Muna diseret ke ranah primordial. Dalam semiotika Barthes, ini menciptakan mitos superioritas simbolik, bahwa
yang administratif (modern) lebih unggul dari yang etnis (tradisional).
Dari kacamata etika komunikasi, ini berbahaya karena menyentuh memori kolektif masyarakat Muna — suku dengan sejarah panjang dan identitas yang kuat di Sulawesi Tenggara.
Pernyataan ini bukan sekadar salah ucap, tapi menjadi peristiwa komunikasi
yang merusak kohesi sosial.
3. Media: Ruang Publik Digital, Bukan Privat
Unsur ketiga adalah “In Which Channel” — melalui saluran apa pesan disampaikan. Pesan ini disampaikan di media sosial publik, bukan dalam percakapan pribadi.
Di ruang digital, pesan tidak lagi bisa dibatasi oleh konteks awalnya; ia mengalir dan direproduksi tanpa kendali. Setiap ujaran menjadi teks terbuka, dapat ditafsirkan ulang oleh siapa pun, dengan latar budaya yang berbeda.
Itulah sebabnya, dalam teori komunikasi publik, media sosial disebut ruang liminal — batas antara privat dan publik yang kabur.
Ketika pejabat publik mengucapkan sesuatu di ruang seperti ini, ia tidak lagi bicara kepada satu individu, tetapi kepada publik luas yang majemuk dan sensitif terhadap simbol identitas.
4. Komunikan: Publik Multietnis dan Efek Sosial
Unsur keempat, “To Whom”, mengacu pada komunikan atau penerima pesan.
Komunikan dalam kasus ini bukan hanya lawan bicara Ridwan di media sosial, melainkan masyarakat Sulawesi Tenggara secara luas, khususnya warga suku Muna yang merasa identitasnya dilecehkan.
Berbeda dari komunikasi interpersonal, publik sebagai komunikan di ruang publik memiliki jarak emosional yang besar tetapi resonansi sosial yang cepat. Ketika komunikan berasal dari kelompok etnis yang memiliki ikatan emosional kuat terhadap simbol identitasnya, candaan yang menyentuh suku menjadi bukan sekadar humor, melainkan mengarah pada penghinaan. Efek sosialnya pun konkret: muncul kemarahan, pelaporan ke Polda, serta diskursus publik tentang etika pejabat.
5. Efek: Luka Simbolik dan Erosi Kepercayaan
Unsur terakhir Lasswell adalah “With What Effect” — apa dampak komunikasinya.
Dampaknya bukan hanya polemik sesaat, tetapi luka simbolik kolektif. Ujaran itu menimbulkan rasa inferioritas sosial dan kekecewaan simbolik di kalangan masyarakat Muna, sekaligus keretakan kepercayaan publik terhadap pejabat pemerintah.Efek simbolik ini penting karena komunikasi publik berfungsi sebagai pembangun legitimasi sosial. Sekali ia menimbulkan luka, maka kepercayaan publik terkikis — dan itu jauh lebih sulit disembuhkan dibanding sekadar kesalahan administratif.
Analisis Tanda menurut Peirce: “Raha” dan “Muna” sebagai Simbol Identitas
Dalam semiotika Peirce, setiap tanda memiliki tiga unsur: Representamen (tanda itu sendiri); Objek (apa yang dirujuk tanda itu); Interpretant (makna yang ditangkap penerima) Dalam ujaran “Untung saya orang Raha, bukan orang Muna”, persoalan utamanya tidak terletak pada keseluruhan kalimat, tetapi pada kata pembeda “bukan” yang menjadi poros
makna diskriminatif. Secara hermeneutik, kata itu menandai jarak makna — memisahkan dua identitas yang semestinya sejajar. “Bukan” menciptakan oposisi biner: yang satu
dianggap lebih baik, yang lain lebih rendah. Dalam konteks budaya lokal, kata itu bukan sekadar penegasan identitas, tetapi penolakan simbolik terhadap yang lain, yang oleh masyarakat Muna dimaknai sebagai bentuk pengingkaran atas martabat etnis.
Sementara itu, dari pendekatan semiotika Peirce, kata “Raha” dan “Muna” berfungsi sebagai tanda (representamen) yang merujuk pada dua objek berbeda: Raha pada
wilayah administratif dan kemajuan kota; Muna pada identitas suku dan akar budaya. Pada tahap interpretasi sosial (interpretant), tanda “Raha” ditafsirkan sebagai simbol kemodernan, sementara “Muna” dipahami sebagai lambang tradisi. Ketika disatukan
dalam konstruksi kalimat yang kontras — “bukan orang Muna” — maka terjadi pergeseran makna ideologis: dari sekadar pembeda identitas menjadi simbol superioritas.
Gabungan pembacaan hermeneutik dan semiotik ini menunjukkan bahwa masalah bukan hanya pada niat komunikator, tetapi pada struktur makna yang dibentuk oleh bahasanya
sendiri. Kata “bukan” menjadi pemicu penafsiran negatif karena mengandung nilai penolakan dan jarak sosial, sementara dua tanda yang dibandingkan — “Raha” dan “Muna”
— sudah sarat dengan beban simbolik sejarah dan kebanggaan etnis.
Dengan demikian, kalimat itu bukan hanya keliru secara etika publik, tetapi juga secara maknawi: ia gagal memahami bahwa dalam ruang komunikasi multietnis, setiap kata tidak
pernah netral, karena di dalamnya hidup tafsir, sejarah, dan perasaan kolektif manusia yang tak bisa diabaikan.
Penutup: Kata yang Tak Lagi Netral
Kasus ini bukan sekadar persoalan hukum atau etika personal, tetapi kegagalan dalam memahami komunikasi sebagai tindakan simbolik. Dalam masyarakat multietnis seperti
Sulawesi Tenggara, setiap kata memiliki beban sejarah dan makna identitas.
Pejabat publik dituntut memiliki kesadaran hermeneutik — kemampuan memahami makna sebelum berbicara — agar bahasa tidak menjadi alat perpecahan. Ujaran “Untung saya
orang Raha, bukan orang Muna” telah menunjukkan bagaimana satu kalimat dapat menjadi medan benturan antara simbol, kekuasaan, dan identitas.Saudaraku, dalam dunia digital yang transparan, pejabat publik tidak cukup sekadar cerdas — ia harus bijak bermain simbolik. Karena makna bukan ditentukan orang yang
membuat dan mengirimkan tanda, melainkan orang yang membaca tanda. Tabe Pak Gub, terima kasih jika ini bermanfaat.




