Penulis : Andriansyah Siregar
(Pimpinan Redaksi Harian Surya Pos “Suara Rakyat Konawe” 2009-2105)
(Pimpinan Redaksi Koran Sultra 2016-2017)
Unaaha, Pemilihan Kepala Daerah adalah topik hangat yang selalu jadi perbincangan menarik dikalangan masyarakat dari berbagai kalangan, mulai dari kalangan bawah hingga kalangan elit. Perbincangan soal pemilihan kepala daerah dibahas oleh masyarakat di mana – mana, mulai dari warung kopi, tempat kerja, dilingkup keluarga, hingga dipematang sawah. Tak jarang karena perbedaan politik antar tetangga terjadi gesekan, sesama rekan kerja bahkan didalam rumpun keluarga sendiri perbedaan itu seakan menjadi jurang pemisah yang cukup dalam.
Menilik dari sekelumit kisah dari Pemilihan Kepala Daerah yang disebutkan diatas tadi, juga masih banyak persoalan yang timbul dari pelaksaan Pemilu dari tahun ke tahun. Salah satu persoalan yang substansial yakni tingkat partisipasi pemilih dalam menyalurkan hak suaranya untuk memberikan mandat kepada Calon Kepala Daerah yang akan memimpin selama lima tahun kedepannya.
Hal inilah yang masih menjadi salah satu tantangan besar bagi Penyelenggara dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum dalam memberikan sosialisasi bagi masyarakat untuk ikut proaktif menyalurkan hak suaranya.
Diketahui bersama Partisipasi politik masyarakat merupakan penentu berhasil tidaknya pelaksanaan suatu pemilihan umum, seperti halnya pemilihan kepala daerah. partisipasi politik masyarakat pada pelaksanaan pemilukada sebagiar besar adalah pada proses pemberian suara, dimana masyarakat terlibat secara langsung untuk memilih pemimpin daerah mereka.
Partisipasi politik dalam negara demokrasi merupakan indikator implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh rakyat (kedaulatan rakyat), yang dimanifestasikan keterlibatan mereka dalam pesta demokrasi (Pemilu). Semakin tinggi tingkat partisipasi politik mengindikasikan bahwa rakyat mengikuti dan memahami serta melibatkan diri dalam kegiatan kenegaraan. Sebaliknya tingkat partisipasi politik yang rendah pada umumnya mengindikasikan bahwa rakyat kurang menaruh apresiasi atau minat terhadap masalah atau kegiatan kenegaraan. Rendahnya tingkat partisipasi politik rakyat direfleksikan dalam sikap golongan putih (golput) dalam pemilu.
Mengapa Golput Dijadikan Pilihan
Saat kita berbicara soal Pemilihan Kepala Daerah, hadirnya Golongan Putih (Golput) selalu menjadi fenomena yang menghiasi pesta Demokrasi lima tahunan ini, pihak Komisi Pemilihhan Umum sendiri dalam setiap Pilkada selalu memberikan persentase target angka partisipasi pemilih, artinya Partisipasi Pemilih menjadi isyu krusial yang pihak penyelenggara sendiri disetiap momentum pilkada telah memberikan target persentase.
Istilah Golput di Indonesia itul telah ada sejak lama, isyu ini muncul menjelang Pemilu tahun 1970-an. Istilah ini muncul dari golongan muda terutama mahasiswa yang bertekad memboikot Pemilu karena dianggap kurang memenuhi syarat yang diperlukan untuk melaksanakan Pemilu secara demokratis. Mereka menilai kebebasan (civil liberties) dalam Pemilu yang merupakan prasyarat bagi suatu Pemilu yang jujur dan adil tidak berjalan sebagaimana mestinya. Untuk menegaskan pandangan ini, mereka mengambil sikap untuk tidak mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memberikan suara.
Terdapat beberapa indikator yang menjadi penyebab Golput diantaranya, faktor administratif regulatif yang berhubungan dengan kelengkapan administrasi seorang pemilih seperti ketiadaan kartu pemilih atau tidak mendapat undangan. Selain itu ada juga persoalan halangan teknis fisik yang berhubungan dengan ruang dan waktu seperti harus bekerja pada saat pemilihan atau kondisi sakit yang menghalangi. Adapula soal alasan informasi tentang calon pemimpin, waktu dan tempat pemilihan yang tidak sampai ke pemilih.
Dari beberapa point yang disebutkan diatas tadi terdapat pula persoalan terkait masyarakat yang memiliki pandangan idealis yang menaruh harapan tinggi terhadap proses Pilkada yang dimaksudkan di sini adalah harapan terhadap partai politik untuk melahirkan kader yang layak menjadi pemimpin dan juga harapan terhadap pemimpin yang telah dipilih untuk bekerja sesuai amanat rakyat. Ketika proses dan hasil pemilu ternyata masih jauh dari harapan, Golput menjadi pilihan rasional yang tidak terelakkan.
Adapula segelintir masyarakat berpendapat bahwa di era kebebasan berpendapat saat ini, keputusan untuk tidak memilih juga merupakan suatu pilihan rasional. Alasan Golput yang berhubungan dengan administrasi, teknis fisik dan kekurangan informasi menjadi hal yang bisa diatasi oleh penyelenggara dengan antisipasi dini. Sementara itu sikap yang berpijak pada pandangan skeptis idealis masih menjadi tantangan besar bagi penyelengaraan Pilkada sampai saat ini. Tidak mudah mengubah pandangan orang yang sudah telanjur apatis. Perlu peran maksimal dari penyelenggara untuk memberikan pendidikan politik melalui sosialisasi – sosialisasi yang intens kepada masyarakat luas.
Langkah untuk mengambil pilihan golput sebenarnya perlu menjadi titik fokus penyelenggara dalam melakukan sosialisasi, sebagaimana diketahui jika pilihan Golput tidak dapat membendung lahirnya pemimpin yang tidak diinginkan sesuai dengan kehendak kalangan golput, dan pilihan untuk golput ini sesungguhnya belum mampu memberi pengaruh signifikan terhadap kualitas kepemimpinan masa kini. Indikasi politik uang dan kecurangan-kecurangan dalam Pilkada masih terus saja terjadi yang kerap bergulir di Meja Mahkamah Konsitusi seusai pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah digelar.
Situasi dilematis ini juga terjadi karena memilih di Indonesia adalah hak, bukan kewajiban.
Sehingga angka partisipasi pemilih tetap menjadi suatu masalah. Sesungguhnya bukan tentang hak dan kewajiban yang menjadi persoalan, tetapi perhatian sesungguhnya adalah pembangunan kualitas demokrasi yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat banyak. Kualitas demokrasi yang baik dengan partisipasi maksimal menjadi cerminan kedaulatan rakyat yang semakin menguat. Tongkat kekuasaan tidak lagi berada di tangan segelintir orang saja, tetapi menjadi domain masyarakat secara luas. Tidak ada pemimpin yang bisa melaksanakan harapan semua orang. Tetapi sebagai pemilih, perlu ada prioritas pilihan yang mampu menjadi jawaban kebutuhan masyarakat. Orientasi kepada kepentingan yang lebih luas menjadi pertimbangan utama. Tidak sekedar berdasarkan pemikiran rasional pribadi atau kelompok tertentu saja, tetapi dengan pertimbangan matang yang mengedepankan kepentingan masyarakat tanpa sekat primordial tertentu, hal – hal inilah yang semestinya juga banyak dilakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk menekan lahirnya generasi – generasi baru golongan putih (Golput).
Menekan Angka Golput
Pemilihan Umum Sebagai wadah aspirasi bagi masyarakat, pemilu diharapkan dapat tampil di tengah-tengah rakyat Indonesia yang plural dengan baik. Aspirasi yang dilakukan oleh rakyat, dimaksudkan agar terjadi sinergitas yang positif antara proses dengan hasil. Artinya, aspirasi rakyat merupakan “ruh” dalam pelaksanaan Demokrasi di Negara ini ke depan.
Bagi segelintir masyarakat pelaksanaan pemilu pada saat ini, dirasakan hanyalah satu babak dari kisah “bongkar pasang” pesta para “petualang-petualang” politik. Akibatnya, permasalahan dalam pelaksanaan pemilu pun selalu muncul, mulai dari masalah money politic, black campaign, kampanye terselubung, dan berbagai permasalahan lain yang menjadi “asam garam” dalam pelaksanaan pemilu. Dan yang paling mencengangkan, dalam tingkatan masyarakat, masih rendahnya tingkat aspirasi yang dikeluarkan dalam pelaksanaan pemilu, dan fenomena ini dalam pelaksanaan pemilu disebut dengan golput.
Fenomena golongan putih atau yang lebih akrab dikenal dengan sebutan golput, disinyalir selalu menyeruak kepermukaan jagat politik negeri ini setiap kali hajatan demokrasi berlangsung –baik dalam proses pemilihan kepala daerah. Entah mengapa hal itu seakan-akan menjadi “hantu” yang menakutkan bagi arah konsolidasi demokrasi Indonesia saat ini, bahkan dalam setiap ajang pesta demokrasi angka golput tampaknya terus merangkak naik.
Menghadapi persoalan ini, Komisi Pemilihan Umum selaku penyelenggara tampaknya harus bekerja ekstra bersama perangkatnya dalam melakukan sosialisasi – sosialisasi pendidikan berpolitik kepada masyarakat, penggunaan alat sosialisasi seperti pemasangan baligho, penyebaran brosure, pamflet serta publikasi – publikasi dimedia massa.
Sosialisasi yang lebih agressif demikianlah kira – kira seperti inilah gambaran yang bisa diberikan dengan harapan partisipasi masyarakat dapat lebih meningkat dan proaktif ikut dalam menyalurkan hak suaranya pada pesta demokrasi lima tahunan ini.
Kami yakin Penyelenggara Pemilu kita telah sangat memahami persoalan kompleks yang terjadi dari masa ke masa yang penulis kemukakan ini, penulis juga sangat yakin bahwa kinerja Penyelenggara di Negeri ini tak perlu dipertanyakan lagi, integritas dan proffesionalisme penyelenggara tak perlu diragukan lagi. Selamat bekerja wahai para Penyelenggara Pemilu, masyarakat mempercayakan pada kalian system penyelenggaraan yang baik dan professional yang nantinya diharapkan dapat melahirkan pemimpin berkualitas yang akan membawa kemajuan bagi daerah ini lebih baik lima tahun kedepannya.
Selain itu masyarakat juga dapat lebih cerdas menyikapi perhelatan pesta demokrasi ini, Ketika masyarakat menuntut pemimpin atau calon pemimpinnya untuk bijak dan kritis dalam menghadapi berbagai permasalahan multidimensi didaerahnya, maka hal yang sama juga diharapkan dari masyarakat untuk menjadi pemilih yang berkualitas. Sehingga generasi Golput dapat tergerus dengan Zaman seiring dengan pemahaman pendidikan berpolitik yang mendewasakan masyarakat yang diberikan oleh Penyelenggara Pilkada di Negeri ini. (****)