Wakatobi, Koransultra.com – Kasus hilangnya Aldi, seorang nelayan Minahasa Utara yang 1,5 bulan hanyut terombang-ambing hingga di Perairan Laut Jepang, bukanlah satu-satunya kasus nelayan hilang yang terjadi di Indonesia.
Untuk meminimalisir kejadian serupa, KKP menaruh perhatian besar dalam upaya meningkatkan standar keselamatan dan keterpantauan nelayan melalui pendekatan teknologi yang ramah bagi pelaku usaha perikanan.
LPTK BRSDM KP dan tentu kita semua perihatin dengan kejadian seperti ini karena tidak mustahil banyak kasus serupa yang tidak terekspos menimpa nelayan kita.
Di Wakatobi misalnya, kejadian nelayan hilang dapat ditemui bahkan hampir setiap bulan, walaupun perbedaannya dengan insiden Aldi hanya pada sarana yang dipakai dan durasi waktu hilangnya.
Untuk mencegah terulangnya musibah hilangnya nelayan akibat kecelakaan seerti hanyut dan sebagainya, terdapat tiga simpul masalah utama yang dihadapi oleh nelayan, khususnya nelayan tradisional yang dapat didukung oleh teknologi.
Yang pertama adalah terkait dengan kesiapan operasi nelayan dalam hal penguasaan informasi mengenai kondisi meteorologi di area target penangkapan ikan.
Kedua terkait dengan keterpantauan armada-armada nelayan tradisional oleh otoritas di darat untuk mendukung ekstraksi SDA yang berkelanjutan sekaligus sebagai data penting dalam proses rescue saat para nelayan mengalami musibah di laut.
ketiga adalah sulitnya nelayan tradisional dalam mengabarkan kondisi darurat yang mereka alami akibat terbatasnya moda komunikasi di laut sehingga upaya penyelamatan tidak dapat segera diselenggarakan.
Di Loka Perekayasaan Teknologi Kelautan (LPTK) Wakatobi, salah satu UPT dibawah BRSDMKP, mengoperasikan Stasiun Radar Pantai yang telah sejak tahun 2012.
Radar pantai tersebut hingga sekarang dipakai untuk memantau lalu lintas kapal melalui 3 teknologi utama yakni Radar X-Band yang digunakan untuk mendeteksi lokasi, arah gerak dan kecepatan kapal, AIS Base Station yang digunakan untuk mengidentifikasi objek radar memanfaatkan transponder AIS pada kapal, dan Long Range Camera yang digunakan untuk mengidentifikasi dan memvalidasi data sensor lainnya dengan menampakannya secara visual.
Kemudian data sistem stasiun radar tersebut dimanfaatkan oleh PSDKP dan otoritas setempat seperti Balai Taman Nasional (Kemenhut-LH), TNI AL dan Bakamla serta Polairud.
Para peneliti dan perekayasa LPTK Wakatobi mempelajari teknologi radar pantai kemudian merekayasa AIS transponder yang dikembangkan secara khusus untuk kepentingan nelayan tradisional.
Teknologi ini diberi nama Wakatobi AIS, akronim dari WAhana KeselAmatan dan PemanTauan Obyek Berbasis Informasi AIS.
Wakatobi AIS didesain khusus berdasarkan karakteristik nelayan kecil kita. AIS transponder ini berbentuk kotak dengan dimensi 14,5x13x20 cm dengan panjang antena sepanjang 100 cm.
Setiap unitnya memiliki bobot 0,6 kg agar bisa diaplikasikan pada kapal/perahu nelayan yang berukuran kecil khususnya yang armada berbobot dibawah 1 Gross Ton.
Alat ini didesain dapat bekerja secara portabel dengan baterai sebagai sumber tenaga yang bisa diisi ulang setiap 20 jam pemakaian. Untuk meningkatkan keselamatan nelayan, terdapat tiga tombol pada perangkat ini, yaitu tombol power, Penanda Lokasi Tertentu (custom tag), dan tombol darurat (distress).
Pengoperasian alat ini cukup mudah. Fungsi dasar AIS yang dimiliki memungkinkan lokasi dan pergerakan nelayan terpantau detik ke detik pada stasiun penerima (VTS). Dengan demikian, jika suatu saat mereka mengalami masalah di laut seperti mesin kapal mati, tenggelam, atau dirampok maka rekaman lokasi para pengguna akan mempermudah pencarian.
Selain itu, nelayan juga bisa secara aktif memberikan kabar darurat ke seluruh perangkat penerima AIS lainnya. Dengan menekan tombol distress maka perangkat akan melakukan broadcast pesan AIS selama selang waktu tertentu untuk memastikan pesan teks tersebut dapat terkirim dengan sempurna.
Teks pesan darurat bisa berupa kode bahaya, identitas yang meliputi nama kapal, pelabuhan asal, dan nomor telepon yang bisa dihubungi dan atau informasi lain yang sebelumnya diprogram kedalam perangkat.
Wakatobi AIS juga dirancang untuk dapat terkoneksi ke sistem pemantauan lalulintas kapal (Vessel Traffic System) yang biasa terdapat pada pelabuhan-pelabuhan dan otorita pelayaran. Namun alat ini juga dapat terbaca oleh perangkat AIS pada kapal non perikanan sehingga dapat mencegah terjadinya kecelakaan kapal nelayan akibat kapal besar sekaligus meningkatkan jangkauan penggunaan alat kendati alat ini dioperasikan diluar dari jangkauan stasiun darat seperti VTS.
“Hasil riset ini sangat mendukung program Wakatobi bersinar utamanya Program Wakatobi bersinar Kelautan dalam rangka memberikan rasa aman melaut kepada Nelayan Wakatobi khususnya selama berada dilautan dalam hal jika terjadi musibah kecelakaan baik oleh kerusakan mesin dan lain lain yang tentunya sangat tidak kita inginkan bersama. Pemerintah Dearah Kabupaten Wakatobi juga mendukung hasil riset yang telah dilakukan oleh Loka Perekayasaan Teknologi Kelautan (LPTK) Wakatobi tersebut dan berencana untuk melanjutkan pengembangan riset Wakatobi AIS ini melalui Dinas Teknis khususnya BAPPEDA dan tentu pengembangan produksi bagi Nelayan oleh DKP WAkatobi dan bagi Kapal Kapal untuk orang maupun barang oleh DISHUB Wakatobi” demikian disampaikan Bupati Wakatobi dalam acara penerimaan Inovasi AIS yang dilakukan oleh Kementrian KKP Balai Riset dan Sumber Daya Manusia di Ballroom Kemempar Selasa 9 Oktober 2018.
Launching Wakatobi AIS ini dihadiri oleh Kemenristek Dirjen Penguatan Inovasi, KKP seluruh Eselon 1 KKP. Kegiatan dibuka oleh Kepala BRSDMKP.
Dengan dikembangkannya Wakatobi AIS diharapkan kecelakaan laut yang sering terjadi di seluruh Indonesia seperti kapal hanyut, nelayan hilang atau kapal tenggelam yang kerap dialami oleh nelayan kecil pencari tuna dapat diselamatkan dengan segera dan bahkan dihindari.
Kontributor : Surfianto