Opini : Noviyanti Malaha, Sekjen UKM Bahasa dan Jurnalistik Unidayan Baubau

Berbagai pandangan umum, HAM sendiri sering dipahami sebagai hak alamiah manusia yang dimiliki semenjak dari lahir, bahkan sejak dalam kandungan. Pasal 1 butir 1UU No. 39 Tahun 1999 sendiri memberikan pengertian HAM sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa (YME) dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Pelanggaran HAM dalam UUD 1945 di Indonesia kerap muncul pelanggaran HAM yang dilakukan oleh berbagai kalangan. Bentuk pelanggaran itu jenisnya beragam, mulai dari diskriminasi, pembunuhan, dan pelecehan. Tertuang, UU HAM yang paling sering dilanggar ialah UUD 1945 pasal 28I ayat (1), Bahwa “Hak untuk hidup, Hak untuk tidak disiksa, hak untuk Kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Hari-hari yang berlalu, tak sadar kita begitu sering menjumpai kehadiran kasus-kasus baru yang berkaitan dengan UU HAM pasal 28I ayat (1). Sebut saja salah satu kasus yang belum lama terjadi, tepatnya pada kamis lalu (15/08/2019) di Kota Baubau. Kekerasan tersebut muncul dalam menyambut HUT RI yang ke-74. Saat itu, gerak jalan indah (GJI) sedang diperagakan oleh barisab HMI Cabang Baubau. Namun, diantara peserta GJI merasa terdiskriminasi Satpol-PP, yaitu dengan menarik paksa atribut yang dibawa oleh peserta GJI HMI saat akan melakukan fariasi barisan.

Atribut tersebut berupa pamflet yang berisikan ucapan selamat HUT NKRI yang ke-74 dan beberapa isu yang akhir-akhir ini di Kawal oleh HmI seperti kasus UMP, parkiran liar, dan peredaran minum keras (Miras) di Kota Baubau.

Kita kadang lupa, UUD 1945 pasal 28 ayat (1) begitu sering dilanggar, baik bentuk kekerasan yang berujung penyiksaan. Sesungguhnya, setiap pasal pada UUD 1945 dalam pemenuhannya harus mampu menjamin masyarakat, dari perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan keterwujudannya diperlakuan secara adil dalam kehidupan bermasyarakat.

Masih lanjut, mengenang kasus kekerasan yang dialami oleh peserta GJI kamis lalu, tidaklah di benarkan. Pada hakikatnya, pihak pengamanan patut mengayomi masyarakat, terutama menjauhi tindakan pemukulan dalam bertugas. Kita ketahui, atas atribut dari peserta GJI sebagai implementasi fariasi barisan.

apa yang menjadi permasalahan di daerah dan melalui jalur yang tidak melanggar hak siapapun itu, lalu yang menjadi
Pertanyaan besar bagi pihak Satpol-PP, timbulnya tindakan agresif, secara paksa menarik dan mengambil atribut untuk variasi barisan bukankah ini tindakan pelanggaran yang telah merampas hak-hak mengutarakan Pendapat mereka secara lisan maupun lisan.

Sangat menggelitik adalah tindakan pemukulan kepada peserta GJI HMI, dimana kita tau, mereka berpartisipasi sebagai tanda akan cinta tanah air indonesia. Mirisnya, malah diperlakukan secara tidak adil, bukankah setiap masyarakat itu sama di hadapan Hukum (asas equality before the law), artinya masyarakat berhak diperlakukan secara adil tanpa mengalami diskriminasi.

Harapan sekaligus penutup opini ini, dimana pihak berwajib semoga bisa menuntaskan permasalahan-permasalahan seperti ini agar keadilan dan kedamaian dalam meyambut usia yang ke-74 NKRI dapat terwujud dengan rasa aman, damai dan bahagia.

KONTRIBUTOR : ATUL WOLIO

Desain Terbaru

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here