Unaaha, Koransultra.com – Pembukaan Musyawarah Adat Pusat (Musdatpus) IV Tahun 2020, Lembaga Adat Tolaki (LAT) resmi digelar di kompleks makam Raja Lakidende, Kamis (13/2/2020), kegiatan tersebut dihadiri sejumlah pemangku adat lintas daerah se-Sultra.
Musyawarah adat pusat ( Musdatpus ) ke- IV sendiri akan dilaksanakan selama dua hari di Laika’a yang merupakan Rumah Besar Suku Tolaki.
Hadir dalam kegiatan musyawarah tersebut Wakil Gubernur Sultra, Lukman Abunawas; Ketua DPP LAT, Mashur Masie Abunawas, Wabup Konawe, Gusli Topan Sabara, Bupati Konut, Ruksamin, Bupati Koltim, Tony Herbiansyah, Ketua DPRD Konsel, Irham Kalenggo; Dandim 1417 Kendari, Kolonel Inf. Alamsyah serta sejumlah pejabat dan tokoh masyarakat adat Tolaki lainnya.
Sebelum acara digelar para pemangku adat serta tokoh adat Tolaki melakukan ziarah pada makam Raja Lakidende. Kemudian dilanjutkan dengan adat mombesara atau biasa dikenal dengan prosesi adat penerimaan.
Saat memberikan laporan Ketua Panitia, Bisman Saranani menyampaikan, pelaksanaan Musdapus ke IV tahun 2020 ini sangat berbeda dengan Musdapus sebelumnya yang digelar di hotel.
Musdapus kali ini digelar di kompleks makam Raja Lakidende yang punya maksud dan tujuan agar kita bisa lebih mencintai leluhur kita.
“Kami selaku panitia juga mengucapkan banyak terimakasih kepada Pemprov Sultra dan Pemda Konawe yang ikut membantu terselenggaranya kegiatan,” jelas Bisman.
Mewakili Pemerintah daerah ,Wakil bupati Konawe, Gusli Topan Sabara , dalam sambutannya menyampaikan bahwa UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang otonomi daerah (Otoda) adalah merupakan salah satu bukti nilai sejarah yang telah ada semenjak dulu dan telah di rumuskan oleh para leluhur di Konawe sekitar 500 tahun yang lalu.
“Sistem Otoda yang dikenal di zaman kerajaan Konawe inilah yang disebut Siwole Mbatohu atau empat gerbang pemerintahan. Sistem ini dahulu memberikan Otoda seluas-luasnya dalam menjalankan tugas dan fungsi pemerintahan,” Ungkapnya.
Gusli menjelaskan dimasa lampau Kerajaan Konawe terbagi atas empat masa. Masa pertama adalah Dinasti Wakoila (tahun 900-1500). Kedua, masa Dinasi Tebawo (1500-1905). Ketiga, masa Dinasti Saosao (1905-1958) Terakhir, masa Demokrasi Pancasila (1958 hingga saat ini).
Mantan Ketua DPRD Konawe ini juga menyinggung terkait tulisan Sarasin, seorang ilmuwan sejarah yang mengatakan bahwa di Konawe di masa lalu ada tujuh dewan. Mereka itu bertugas untuk memberi masukan kepada raja saat mengambil semuah kebijakan.
“Dari semua ini kita dapat belajar bahwa untuk memajukan tanah Konawe dan Mekongga ini yang perlu kita lakukan adalah menghilangkan sekat-sekat. Kita bersatu padu untuk membangkitkan kebudayaan kita. Kembalikan kejayaan tanah ini untuk jadi episentrum dan memimpin Sultra,” jelasnya.
Sementara itu dari Ketua DPP LAT, Mashur Masie Abunawas, mengingatkan ada tiga hal pokok yang mesti jadi pegangan masyarakat Tolaki. Ketiga hal itu, yakni medulu, mepokoaso dan samaturu.
“Diera kita saat ini, ketiga hal tersebut sudah mengalami erosi. Inilah yang seharusnya menjadi perhatian kita bersama,” Katanya
Mantan Wali Kota Kendari itu juga berpesan ada Pemda dan DPRD bisa menyisipkan anggarannya untuk kegiatan LAT. Ia juga meminta agar tiap daerah dapat mendirikan Laika’aha.
“Saya juga meminta kepada Pemda Konawe agar kompleks makam Lakidende bisa ditata lebih rapi lagi,” pintanya.
Sambutan terakhir dibawakan Wagub Sultra, Lukman Abunawas. Mantan orang nomor satu Kabupaten Konawe tersebut mengingatkan agar DPRD selaku pengetuk palu anggaran dapat memberi perhatian lebih untuk kegiatan Lembaga Adat Tolaki ( LAT ).
Lebih lanjut terkait makna dalam Kalosara, Lukman Abunawas menjelaskan dalam Kalo ada tiga lilitan yang masing-masing punya makna. Lilitan pertama bermakna agama, kedua pemerintan dan ketiga adat.
“Ketiga hal ini harus jalan bersama-sama,” Tegasnya
Kontributor: Nasruddin