Unaaha, Koransultra.com – Pengadilan Negeri Unaaha kembali menggelar sidang lanjutan PT. Naga Bara Perkasa, dengan agenda sidang mendengarkan keterangan saksi ahli, selasa (11/8/2020).
Dua saksi ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tersebut berasal dari kantor Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XXIl Sultra, serta Dinas Kehutanan Provinsi Sultra ahli di bidang penggunaan kawasan hutan.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua Pengadilan Negeri Unaaha Febrian Ali, SH, MH. Selaku hakim ketua, kedua saksi ahli menyebut bahwa perusahaan PT Naga Bara Perkasa (NBP) melakukan penambangan di Kawasan Hutan Produksi tanpa mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup RI.
Mandalin, saksi ahli pertama yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), mengatakan berdasarkan Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, pembagian hutan di Indonesia berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi.
Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Payung hukum yang mengatur Hutan konservasi adalah Undang -Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
“Kemudian Hutan lindung ialah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah,” jelasnya.
Terakhir hutan Produksi, yakni kawasan hutan yang diperuntukkan guna produksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya serta pembangunan, industri, dan ekspor pada khususnya. Hutan produksi dibagi menjadi tiga, yaitu hutan produksi terbatas (HPT), hutan produksi tetap (HP), dan hutan produksi yang dapat dikonversikan (HPK).
“Kalau di kawasan hutan lindung hanya dia lakukan penambangan terbuka, dan ini bisa menyebabkan kerusakan pada permukaan tanah seperti penambangan ore nikel. Nah ini tidak dibolehkan menambang di Kawasan Hutan Lindung tanpa IPPKH dari Kementerian Kehutanan RI,” ungkapnya.
Sementara saksi ahli kedua Suhardin, menuturkan sebelum bergulirnya kasus PT. NBP tersebut dirinya melakukan survei terkait Potensi Kawasan Hutan di Kecamatan Langgikima, Namun saat berada di lokasi Suhardin melihat ada bekas-bekas penambangan.
“Ada hutan yang terbuka dan pepohonan tidak ada. Tetapi tidak ada aktivitas penambangan, hanya ada bekas tambang,” pungkasnya.
Dalam perkara ini, enam tersangka yakni operator alat berat Excavator didampingi oleh Kuasa Hukum, Nasrudin SH. Sementara Direktur PT NBP Tuta Hafisa didampingi oleh Kuasa Hukum H. Abdul Razak Naba.
Atas perbuatannya, ketujuh tersangka tersebut dikenakan pasal 89 ayat (1) huruf a dan b ayat (2) huruf a dan b dan uu RI Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp 20 miliar.
Kemudian Pasal 158 Jo pasal 37 dan pasal 40 ayat (3) dan pasal 48 UU RI Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Jo pasal 55 ayat (1) KUHPidana dan pasal 56 ayat (1) KUHPidana dengan ancaman hukuman sepuluh tahun penjara dan dan denda paling banyak Rp 10 miliar.
Kontributor : Nasruddin