Di era moderenisme seperti sekarang ini, sifat jujur sudah dirasa sangatlah langka, sementara kebohongan itu sendiri terkadang menjadi sebab bagi dua orang yang sedang berseteru atas nama kejujuran, dapat dikenakan sanksi secara adat. Dalam hal ini tradisi tersebut dapat dikakatan semacam sumpah pocong yang di Pulau Buton sendiri disebut Tradisi Kaleo-leo.
Laporan : Voril Marpap
Buton, Koran Sultra – Kaleo-leo merupakan hukum adat yang dilakukan untuk membuktikan kebenaran ketika ada dua belah pihak yang berseteru. Kaleo-leo sudah lama berlaku di pesisir Buton, tepatnya di Desa Wabula, Kecamatan Wabula. Dalam prosesi Kaleo-leo, kedua belah pihak yang bertikai akan menyelam dan kebenaran pun bisa terungkap.
“Hukum adat Kaleo-leo ini kan hanya mencari kebenaran. Ya, seperti sumpah pocong,” ujar Ahmat Emi, Camat Wabula.
Ketika ada dua orang yang berseteru atas kasus tanah atau perselingkuhan misalnya, dan semuanya tidak ada yang mengaku salah. Makah hukum adat Kaleo-leo akan diberlakukan.
Dua orang yang bertikai akan dibawa ke rumah adat besar di pesisir pantai yang disebut Galampa. Di sana, tokoh setempat akan berkumpul dengan pakaian adat. Akan ada seseorang yang sudah ahli, membacakan mantra ke dua orang yang berseteru, kemudian mereka akan diminta menyelam di perairan Desa Wabula.
“Di Galampa ini setiap ada masalah diarahkan ke sini. Lalu kita kumpul semua tokoh masyarakat, tokoh adat pakai pakaian adat. Nanti mereka dibawa ke sini,” ucapnya seraya menunjuk ke laut.
Menyelam yang dimaksud tidaklah seperti traveler yang sedang diving. Kedua orang itu akan memegang kayu, membungkuk memasukkan kepala ke air dengan kaki masih menapak di dasar pantai. Semuanya akan mulai menyelam secara bersamaan dan inilah saat-saat penting dimana kebenaran akan terungkap.
“Menyelam satu, dua, tiga. Kalau yang salah bisa langsung berdiri karena tidak tahan. Kalau yang benar itu lebih tenang, bisa tidur,” Kata Camat Wabula
Mungkin karena efek dari mantra yang dibacakan sebelumnya, pihak yang bersalah tidak akan tenang selama menyelam. Bisa saja ia merasakan panas atau gatal di bagian mukanya. Pastinya, orang ini tidak akan bertahan lama dan duluan mengangkat kepala dari air dibandingkan orang yang tidak bersalah.
Walaupun orang bersalah yang melakukan Kaleo-leo adalah ahli menyelam, tetap saja tidak akan tahan. Dengan begitu, Kaleo-leo pun dianggap sebagai cara yang efektif untuk membuktikan siapakah pihak yang bersalah dari pertikaian di Wabula.
Setelah terbukti bersalah, orang tersebut akan diberi sanksi seperti membayar denda sesuai dengan perbuatannya. Besar denda yang harus dibayarkan beragam, mulai dari ratusan ribu hingga di atas Rp 1 juta. Uang denda ini akan masuk sebagai uang kas desa.
Sungguh tradisi adat yang menarik dari Buton. Pesan moralnya jelas, jika tidak mau terkena sanksi sosial dan adat, tegakanlah kejujuran dimanapun kita berada.
Kontributor : Voril Marpap