Tiga Tahun Sengkarut Sengketa Lahan Tawamele, Wabup Konawe: Final, Kosongkan Lahan, Tidak Puas Silahkan Kepengadilan

Unaaha, Koransultra.com – Suasana Desa Tawamelewe Kecamatan Uepai Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara pada Senin, 02/06/2025 tampak ramai dari biasanya, Ratusan aparat gabungan, TNI, Kepolisian, Satpol PP lengkap beserta kendaraan patroli pengamanannya sejak pagi hari tampak berjaga dibeberapa pos pengamanan yang tersebar di desa tersebut.

Aktifitas warga malah tampak lengang, nyaris tak terlihat warga yang berlalu lalang menuju keareal persawahannya dimana warga setempat mayoritas adalah petani.

Sejumlah sisi jalan di Desa tersebut terpajang baliho dengan ukuran besar yang berisi 11 poin Kesepakatan bersama Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) tentang  Penyelesaian Konflik Sosial Sengketa Lahan di Desa Tawamelewe Kecamatan Uepai Kabupaten Konawe.

Diketahui jika Desa Tawamelewe yang didominasi warga transmigrasi asal pulau Bali ini tengah terdampak konflik sosial sengketa lahan dimana hal ini sudah berlangsung sejak tiga tahun belakangan dengan sejumlah warga lokal yang juga mengklaim sebagai rumpun keluarga pemilik lahan areal persawahan seluas ratusan hektar ini.

Meski telah terjadi dua kali pergantian Penjabat (Pj.red) Bupati, sengketa lahan ini tak kunjung berujung pangkal terhadap soalan yang dikhawatirkan menjadi konflik sosial berkepanjangan sehingga menggangu ketertiban masyarakat.

Pemda Konawe Ambil Langkah Tegas

Sekira pukul 11.00 Wakil Bupati  (Wabup) Konawe, H. Syamsul Ibrahim bersama jajaran Forkopimda, Ketua DPRD, Kapolres, Kajari, Dandim 1417 Kendari, Ketua Pengadilan Negeri Unaaha, tampak pula Kepala BPN Konawe bersama jajarannya tiba di Lokasi.

Rombongan Forkopimda Konawe ini turun langsung menyaksikan pemasangan patok tapal batas yang dilakukan oleh BPN Konawe dilokasi konflik  sengketa lahan di desa  Tawamelewe ini yang diharapkan dapat mengurai akar permasalahan.

Pemerintah Daerah (Pemkab) Konawe bersama Forkopimda telah melakukan rapat koordinasi yang melahirkan 11 poin keputusan bersama atas sengketa berkepanjangan di Desa Tawamelewe ini, sebagaimana yang terpampang dibaliho berukuran besar yang juga terpasang diareal persawahan yang menjadi objek sengketa.

Saat menyaksikan langsung pemasangan patok lahan ini Wabup Konawe menegaskan jika Pemerintah Konawe telah mengambil sikap tegas terkait hal ini berdasarkan hasil rapat bersama forkopimda, katanya.

“Pada hari ini sesuai rapat forkopimda, pemerintah telah mengambil sikap terhadap kasus yang selama ini terkatung katung atas sengketa lahan diwilayah ini,” ujar Syamsul Ibrahim.

Sekitar 900 hektar lebih areal  persawahan didesa ini akan dipatok okeh pihak BPN,  “semua patok yang dipasang oleh pihak badan pertanahan nasional kurang lebih 900 hektar lebih mulai hari ini harus dikosongkan tidak boleh ada aktifitas penanaman, penyemprotan maupun seterusnya,” tegas Wabup Konawe ini.

Dirinya menekankan agar warga yang bersengketa bisa menjaga situasi kamtibmas, “tidak boleh ada kekerasan, tidak boleh ada intimidasi tidak boleh ada ancaman diwilayah NKRI khususnya diwilayah Kabupaten Konawe khususnya diwilyah lokasi kecamata uepai, jika ada yang merasa hebat dan akan melakukan cara cara itu maka akan berhadapan dengan pihak APH sesuai tugas dan fungsinya masing masing,” tegas Wabup Konawe.

“Kesempatan ini kami minta dengan hormat pada aparat hukum, pak Kapolres, pak Kajari, pak Dandim tolong ditegakkan aturan, mengangkat saja parang, mengancam orang saya kira undang undangnya sudah jelas,  ini negara NKRI kita pake hukum positif  bukan hukum rimba,” Ujar Syamsul Ibrahim memberi ultimatum.

Rumpun Keluarga Masyarakat Lokal Tuntut Hal Ini

Sebanyak tujuh orang perwakilan masyarakat yang bersengketa dengan warga transmigrasi ini duduk bersama forkopimda membahas terkait persoalan lahan ini usai pemasangan patok sebagai tanda awal dimulainya pematokan untuk 900 hektar lahan persawahan ini.

Eprit, yang mengaku sebagai perwakilan rumpun keluarga lokal yang bersengketa ini mengungkap jika kasus serupa pernah terjadi pada puluhan tahun silam dan dilokasi ini juga, “banyak peristiwa yang pernah terjadi dilokasi ini mulai ditahun 82, 87, 96 dan 2002 itu yang pernah terjadi dilokasi ini  bahkan banyak korban dan dipenjarakan pada tahun 87,” bebernya.

“Kami meminta kepada pemerintah daerah untuk menunjukkan yang mana transmigrasi ditahun 1974 itu, supaya ditunjukkan mana titik koordinatnya itu yang 100 KK (Kepala Keluarga.red) karena kami melihat yang ada hasil rapat RDP itu bahwa sudah seribu lebih hektar menjadi lahan transmigrasi pertanyaannya yang seribu hektar itu siapa yang dikorbankan,” ujarnya.

“Poin utama cuma itu mewakili rumpun keluarga dari uepai, asaki, lambuya, sanggona kami meminta agar ditunjukan lokasi transmigrasi yang 74 itu.” Katanya.

BPN Konawe Ungkap Lahan Yang Disengketakan Ternyata Bersertifikat

Saat dialog bersama masyarakat yang mengklaim areal persawahan ini adalah milik rumpun keluarga mereka dimana BPN diminta  untuk  membuka soal legalitas kepemilikan tanah tersebut terungkap bahwa hampir keseluruhan areal persawahan ini telah bersetifikat.

Kepala BPN Konawe, Rully Handayani mengatakan bahwa pada tahun 1982 lalu telah diterbitkan ratusan sertifikat atas tanah tersebut, “704 sertifikat itu (terbit.red) berdasarkan surat keputusan gubernur yah, tingkat I Sultra.” Katanya.

“Perlu saya tegaskan bahwa BPN itu menerbitkan sertifikat transmigrasi itu tidak atas kemauan BPN itu sendiri jadi semua itu berdasarkan permohonan dari Dinas transmigrasi Kabupaten Konawe tahun 1982,” jelas Kakantah Konawe ini.

Sertifikat warga berikutnya juga diterbitkan pada tahun 1993, sambung Rully. “kemudian diterbitkan sertifikat lainnya tahun 1993 sejumlah 91 sertifikat itu berdasarkan surat keputusan kakanwil BPN Provinsi Sultra,” Ungkapnya.

Eprit CS Tidak Puas, BPN Konawe: Silahkan Ke Pengadilan

Dialog bersama masyarakat dan pemerintah ini sempat berjalan alot, salah satu pendamping hukum warga ini mengaku bakal mengajukan sengketa ini ke Pengadilan.

“Saudara kami ahli waris sudah menyampaikan kepada pemerintah apa yang menjadi keinginan mereka, dan setelah ada penetapan dari pemerintah hari ini kami akan tampill untuk memberikan pendampingan hukum,” Ujar Muharlit.

Pihaknya akan menempuh jalur hukum untuk memperjuangkan hak warga ini katanya, “sertifikat yang sudah terbit akan dievaluasi dan kami akan gugat di PTUN, siapkan data masing masing

dan maju ke ranah hukum,” ujarnya.

Kepala BPN Konawe, Rully Handayani mempersilahkan pada warga untuk mengajukan sengketa lahan ini keranah hukum, “jadi  jika bapak bapak yang hadir disini ada yang tidak sesuai dengan data yang kami sampaikan silahkan mengajukan gugatan dipengadilan kami akqn menjawab dan kami akan sampaikan dipengadilan jadi kalau mau diselesaikan disini tidak akan selesai,” tegasnya.

“Tujuan kami untuk pemasangan patok inj,  yang pertama kami memasang patok untuk seluruh areal lahan dua lahan transkigrasi yaitu seluas 908,4 hektar, kemudian yang kedua dilahan yang diklaim oleh masyarakat masing masing yang diklaim yang kami patok

kemudian yang ketiga lahan yang belum bersertifikat nanti sudah jelas batas batas patoknya,” Jelas Rully Handayani.

Wabup Konawe: Keputusan Final, Kosongkan Lahan, Tidak Puas Silahkan Kepengadilan

Dalam dialog tersebut, Wabup Konawe H. Syamsul Ibrahim menegaskan pemerintah daerah mengambil keputusan ini tanpa intervensi dari pihak manapun, “kami hadir disini kapasitas pemerintah, keputusan rapat kami tidak terpengaruh kepada siapapun itu pegangan kami tidak melihat siapa tidak melihat suku, pegangan kami adalah aturan, ada dasar tempat ini ditempatkan sebagai lokasi transmigrasi melalui surat dari kanwil nakertrans kemudian ada keputusan gubernur,” tegasnya.

Wabup Konawe menyampaikan bahwa  hasil rapat disepakati dasar kepemilikan tanah untuk sementara adalah hak alas, “dalam rapat itu kita bersepakat pegangannya adalah sertifikat yang sudah ditetapkan  oleh BPN sekitar 900 lebih hektar entah didalam itu Trans atau bukan yang pasti alas hak secara resmi,” ujarnya.

“Untuk itu keputusan pemerintah pada hari ini lahan ini harus dikosongkan tidak ada yang boleh beraktifitas dilokasi yang ada sertifikatnya yang patoknya sedang dipasang 908 hektar

nah ini keputusan kita berdasarkan hasil rapat,” Ujarnya.

Menurut Syamsul Ibrahim, setelah pematokan ini warga yang memiliki sertifikat tanah boleh melakukan aktifitasnya kembali dilahan tersebut, dan untuk lahan yang seluas 67 hektar yang belum memiliki sertifikat untuk sementara ditangani oleh pemerintah sembari melihat siapa pemilik sah loasi itu berdasarkan bukti bukti kepemilikannya, ujarnya.

“Siapa yang tidak puas atas hal itu maka salurannya dipengadilan, kami pemerintah dan stake holder tidak bisa menentukan ini yang benar ini yang salah ini ranahnya dipengadilan dengan hak alasnya masing masing itu yang utama,” terangnya.

“Soal nanti misalnya si A dia punya sertifikat disitu terus kita gugat atau digugat okeh si fulan dan putusan pengadilan menyatakan dia yang benar maka sekalipun dia punya sertifikat maka dia harus serahkan lahan itu kembali kepada yang memenangkan perkara itu,” sambungnya.

Sempat terjadi adu argumen antara pemerintah dan warga yang mengklaim lahan tersebut adalah milik rumpun keluarga mereka, Wabup menegaskan kesimpulan pemerintah telah final lahan tersebut harus dikosongkan, “itu final, siapapun yang beraktifitas disini berarti kita berhadapan dengan hukum itu sudah kesepakatan rapat,

bagi yang membangun diatasnya diberi kesempatan tiga hari sejak hari ini untuk membongkar rumah atau apa, jika tidak maka tiga hari dari itu sudah wewenang pemerintah untuk membongkarnya, nanti  30 hari sejak hari ini maka baru bisa masuk mengolah dilahan yang punya sertifikat,  bagi yang bersengketa silahkan di pengadilan,” Pungkasnya menutup Dialog bersama warga yang mulai memanas ini.

Laporan: Andriansyah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *