Narasi Feminitas dalam Mistisisme Islam

Penulis : Annemarie Schimmel

Gerakan feminisme pada mulanya menggema sejak masa renaissance, yang dipelopori Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condercet. Gerakan tersebut terjadi karena konstruksi sosial yang menempatkan kaum adam sebagai pihak yang mendominasi, sehingga mendesak posisi perempuanmenjadi sosok yang inferior. Dominasi laki-laki yang kian tidak terbendung itu, pada akhirnya dijadikan sebagai alat untuk menindas, mendiskriminasi dan menginjak-injak martabat perempuan.

Akibatnya, kaum hawa distigma sebagai mereka yang lemah, tak memiliki daya dan kecakapan dalam memecah suatu persoalan. Yang lebih ironisialah tatkala agama dijadikan sebagai justifikasi-doktrinal untuk menenggelamkan perempuan dalam kubangan ketidakberdayaan. Sehingga, sejumlah aktivis gender, mencurigai bahwa di balik interpretasi atas teks agama terselubung hasrat dominasi kaum adam.

Islam sebagai agama yang lahir di tengah kakunya budaya patriakhi Arab tak lepas dari objek kecurigaan, terutama oleh kaum feminis Barat. Mengingat dalam tradisi Arab jahiliyah, kelahiran sosok bayi perempuan adalah petaka karena dapat melemahkan suatu kafilah. Ia harus dibunuh, dibuang dan dikubur.Islam dituduh sebagai agama yang melegitimasi hal tersebut.Padahal, kelahiran Islam justru hendak memupus narasi patriarkhisme dalam kehidupan masyarakat Arab Jahiliyah.

Terlepas dari semua itu, Annemarie Schimmel mengajak kita menyusuri labirin mistisisme Islam, yang ternyata menempatkan perempuan setara, bahkan, berada di atas posisi laki-laki. Feminitas telah menjadi suatu tumpuan bagi kaum sufi untuk memberikan ilustrasi tentang kerinduan, cinta, dan penyatuan dengan Ilahi.

Dalam mistisme Islam, sosok perempuan sebagaimana yang telah disebut dalam Al-Qur’an, di tempatkan dalam posisi yang agung. Seperti Zulaikha, yang dijadikan sebagai representasi dari sosok sang perindu sejati. Dengan begitu menawan Azad Bilgrami, penyair mistik India bertanya, “Orang-orang selalu melihat pakaian Yusuf yang tersobek/ Tapi siapa yang melihat hati Zulaikha yang patah dan terluka?”.

Kerinduan dan cintanya yang begitu membara membuat Zulaikha rela menanggung penderitaan demi kekasihnya, Yusuf. Ia adalah simbol dari seorang salik yang dilanda kerinduan kepada-Nya, sehingga segala derita dan nestapa, dirasakan sebagai kenikmatan semata. Dalam khazanah kaum sufi, cerita cinta Yusuf dan Zulaikha dengan begitu memukau dinarasikan oleh Abdurrahman Jami, seorang sufi-penyair asal Persia. Bagi Jami, dua sejoli itu merupakanwujud dari leburnya diri ini dengan Sang Kekasih.

Di samping sosok Zulaikha, dalam lempengan firman-Nya, ada sosok perempuan lain yang tak kalah mulia, ia adalah Ratu Bilqis, Maryam, Aisyah (istri Fir’aun yang sholehah, yang menghanyutkan bayi Musa ke sungai). Semua sosok perempuan tersebut mendapat posisi yang agung di kalangan kaum sufi. Ratu Bilqis yang terkenal dengan istananya yang megah di negeri Saba itu dianggap sebagai tamsil dari seorang hamba yang mampu melepas jeratan materi dan terbang menuju cakrawala Ilahi.

Feminitas, dengan demikian, menjadi suatu dimensi yang begitu sublim dalam tradisi sufisme.Bahkan, berkat sentuhan seorang perempuan, Rabi’ah Al-Adawiyah, tradisi mistik Islam itu berhasil diubah dari asketisme yang suram menjadi mistisisme cinta kasih karena dimensi manusiawinya yang begitu sempurna. Sehingga, Rabi’ah disebut-sebut lebih unggul ketimbang para laki-laki. Tak heran, jika kemudian dia mendapat julukan “Mahkota kaum Laki-Laki” (hlm. 72).

Sentuhan sastra

Khazanah sufisme tidak bisa lepas dari sastra. Karena kerinduan yang memuncak dan cinta yang terus bergelora kepada Sang Kekasih, membuat kaum sufi mengungkapkan pengalamannya dengan kata-kata indah yang memukau. Pada titik inilah, dalam syair-syair sufistik terkadang mendasarkan substansinya pada jiwa seorangperempuan.

Syair-syair sufistik Indo-Pakistan yang dilahirkan dari kondisi ekstase-mistikal kaum sufi menurut Annemarie Schimmel banyak ditemukan matafor dan diksi yang erat dengan feminitas. Metafor seperti “memintal” yang merupakan aktivitas yang dekat dengan seorang perempuan adalahcontoh seorang hamba yang sedang memurnikan jiwanya yang keruh. Seorang hamba yang terus-menerus berzikir mengingat Tuhannya, sama dengan berdengungnya roda pintal. Sedangkan benang akan menjadi lembut karena dipintal terus-menerus, dan begitupun hati akan menjadi jernih dengan mengingat Tuhan secara konsisten.

Alasan yang kuat mengapa perempuan menjadi objek dominasi karena ia dianggap sebagai pelayan. Anggapan tersebut didekonstruksi oleh kaum sufi bahwa pelayan tidak selamanya berasosiasi pada hal-hal negatif, yang justru melemahkan posisi perempuan.Ia mendapat afirmasi secara teologis. Sebab, manusia pada umumnya adalah ‘abd (pelayan atau budak). Memposisikan diri sebagai pelayan berarti menunjukkan kualitas manusia, sedangkanmenjadi ‘abduhu (pelayan-Nya) sebut Al-Qusyairi, ahli mistik Persia, merupakan puncak tertinggi yang dicita-citakan seorang manusia (hlm.189).

Schimmel mengahiri buku ini dengan menyajikan tiga kisah tentang Sassi, Sohni Mehnawal dan Omar Marui. Merekabertiga adalah para perempuan yang merindukan asal-usul primordialnya. Mereka sanggup menanggung derita dalam pengengembaraan mistiknya,hanya untuk bertemu dengan Sang Kekasih.
Betapa gagahnya jiwa perempuan tersebut, sehingga Jami dengan tegas bekata: gender feminin bukanlah aib bagi matahari, dan gender maskulin pun bukan kehormatan bagi bulan. Dengan demikian, buku ini merupakan jawaban secara gamblang bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi seorang perempuan. Para feminis yang nyinyir terhadap Islam hanya melihat agama ini dari sisi luar, dan tidak berusaha menggali telaga spitualitasnya yang begitu mengagungkan posisi perempuan.

Judul Buku : My Soul Is A Woman: Aspek Feminin dalam Spiritualitas Islam
Penulis : Annemarie Schimmel
Cetakan : I, April 2017
Penerbit : Mizan
Tebal : 289 halaman
Peresensi : Ahmad Naufel

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *