Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil.
*Penulis Lepas Yogyakarta

Jika bentuk pertanyaannya berupa “apa” atau “apakah”, seperti; apakah Islam netral maka terjawab dengan makna Islam. Begitu mudah menjawabnya. Namun tatkala pertanyaannya bergeser menjadi, “bagaimana” maka netralitas Islam diuji penerapannya.

Islam sejatinya adalah barometer bagi setiap aspek kehidupan manusia. Manusia bisa mengukur segala hal berkaitan perbuatan, pikiran atau bentuk apa pun dengan kaca mata Islam, bahkan terhadap Islam sendiri, dalam Islam sendiri terdapat jawabannya.

Sudah barang mungkin Islam memiliki daya tarik yang menjadikan siapa saja yang penasaran menjadi ingin tahu, yang kasmaran menjadi jatuh hati dan kemudian cinta, sesosok menjadi hidup dan berjalan di sana (Islam).

Kembali kepada pengertian netralitas, sebagai suatu nilai semangat, netralitas diidentikkan dengan Filsafat. Mereka yang kerap berjibaku dengan Filsafat terkadang dikaitkan dengan usaha bermain dengan netralitas, “bermain api”, katanya.

Maka coba simak terjemah ayat berikut: “perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui” (Qur’an Surat al-Ankabuut: 41).

Maka sudah jelas tempat, tujuan, sandaran atau apa pun yang berkait perlindungan yang terbaik adalah Allah. Bahkan selain Allah tidak pantas dijadikan pelindung atau sekedar perbandingan.

Maka puncak keadilan tidak lain adalah sebagaimana yang dibawa Islam. Setidaknya dalam ranah pengertian, keadilan sebagai nilai dapat ditemukan bahkan dalam literatur orang-orang Non-Islam. Para orientalis sejatinya mengetahui hakikat keadilan. Dengan begitu, mereka memahami prinsip-prinsip netralitas yang sesungguhnya.

Lantas apa hubungannya keadilan dengan netralitas? Keadilan lawan kezaliman yang berpuncak pada kesyirikan, dapat dipahami dalam bahasa kebenaran, sedang netralitas berada pada “seberang” jalan. Skema ini dapat dipahami dengan cara pikir dialektika negatif yang terdapat dalam diskursus Filsafat Era Kontemporer.

Lalu, dapat dipahami, bahwa pada satu sisi sikap yang diambil berdasar tuntunan akan membawa keselamatan terdapat dalam Islam. Pada sisi lain, jika ilmu, dengan alasan keberkahan, dan lain sebagainya, misal tidak menjadikan seorang baik dalam menjalani kehidupan maka dia termasuk orang yang menzalimi diri sendiri.

Artinya semua terdapat dalam Islam baik dari sisi sikap atau sekedar pengertian. Sikap yang diambil bisa berkesesuaian dengan kondisi ideal yaitu berkeadilan dan netral atau membelok dengan mengambil jalan bukan takwa, kesemuanya terdapat dalam al-Qur’an.

Sudah semestinya, mereka yang beruntung adalah mengambil jalan taqwa bukan jalan zalim baik untuk diri sendiri atau orang lain. Maka makna netral, Islam serta netralitas Islam tidak hanya dipahami sebagai suatu ilmu, namun menjadi pengalaman spiritual dan jalan hidup.

Namun, penulis pada kesempatan ini bermaksud untuk menuangkan ide berdasar analisis mendalam pada berbagai fakta yang terjadi khususnya berupa konflik atau permasalahan yang terjadi antar sesama manusia. Secara spesifik penulis beranjak dari fakta dengan menjadikan ajaran Islam sebagai parameternya.

Pertama, “ikrom”, hal ini paling mungkin ketika seseorang atau suatu kelompok berusaha memuliakan orang lain dengan mendahalukan berbagai kepentingan atau kebutuhannya.

Kedua, “athifiyyah”, perasaan tidak tega, menjadi kemungkinan dalam urutan kedua penyebab konflik bagi mereka yang berada pada jalan menuju kebenaran.

Poin pertama dan kedua, berikutnya dapat menjadi konflik dalam skema perlombaan dalam kebaikan. Pihak (orang atau kelompok) yang kalah berlomba akan menjadi tidak taqwa. Namun apa penyebab serta bagaimana pun bentuk masalah sebagai akibat negatif dari “perlombaan” tersebut, segala sesuatunya akan kembali kepada Allah jua.

Ketiga, bisikan syetan. Jika diikuti bisikan ini bisa saja menjadi permusuhan dan kekejian semisal berupa peperangan di kalangan umat manusia sebagaimana terdapat dalam Q. S. Aali Imraan Ayat 155 yang artinya:
“sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antaramu pada hari bertemu dua pasukan itu. Hanya saja mereka digelincirkan oleh syetan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau) dan sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.

Keempat, “akhlak” mengingat akhlak tidak terdapat pembahasan dalam kajian khusus disiplin fiqh, maka penyandarannya (nisbah) yang utama tentunya tetap kepada akhlak Rasul Muhammad termasuk perintah serta keputusan beliau Shallahu ‘alaihi wa sallam.

Kelima, kehendak untuk membuktikan “anda benar saya memang salah” atau sebaliknya. Umumnya kehendak ini muncul sebagai tujuan untuk mendukung perbuatan baik, meski dengan langkah yang tidak tepat dalam bimbingan ketaqwaan. Niat baik dengan pelaksanaan tidak atau bentuk negasi taqwa.

Keenam, emosi. Pada prinsipnya, tindakan kejahatan berupa luapan emosi yang tidak tertahan adalah bentuk kebodohan. Hukum asal bodoh atau tidak tahu sama dengan tidak dapat berpikir atau menimbang serta tidak kuasa membedakan antara kebaikan dan keburukan.

Maka luapan emosi yang berakibat kecil atau tidak fatal (“lamam”) jika tatkala segera disadari, memohon ampunNya serta melakukan perbaikan dengan izin (“ma’isyah”) Allah akan terampuni. Selain itu, emosi buruk juga tidak lepas dari pengaruh buruk makhluk yang bernama syetan, maka segera lah “ta’awwudz” atau berlindung kepada Allah.

Ketujuh, Berbagai faktor destruktif, seperti dendam, dengki, serta kesombongan. Kesemua ini merupakan penyakit hati. Berkait dengan poin nomor tiga, pada prinsipnya, dalam arti fitrah, manusia adalah baik dan senantiasa condong kepada kebenaran. Namun ada saja yang mengambil jalan tidak taqwa atau mengikuti bisikan syetan sehingga kesalahan atau kejahatan menjadi kebiasaan, serta dijadikan indah bagi para pelakunya.

Secara holistik dan komprehensif setiap poin di atas adalah satu kesatuan dan saling berkaitan. Dibuat dalam bentuk poin adalah diharapkan dapat memudahkan pemahaman terhadap persoalan dan untuk mengambil langkah atau sikap. Senantiasa memohon ampun, petunjuk dan bimbinganNya; “robbighfir warham wa Anta khoir ar-Rohimiin!” (Rls)

Desain Terbaru

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here